Jumat, 22 April 2011
SEJARAH MAKASSAR: Kerajaan Gowa
SEJARAH MAKASSAR: Kerajaan Gowa: "A.Asal-Usul Dan Perkembangan Kerajaan Gowa 1.Masa Sebelum Tumanurung Sebelum zaman Tumanurung, ada empat raja yang pernah mengendalikan P..."
Jumat, 01 April 2011
Pasang atau perbarui Google Chrome - Mengunduh dan memasang Google Chrome
Sejarah Maros : Karaeng Loe ri Pakere
Karaeng Loe ri Pakere adalah Karaeng pertama di Maros. Beliau disebut juga sebagai Tumanurung, karena asal-usulnya tidak diketahui, nama pribadinya pun tidak diketahui. Beliau turun di Pakere ketika masa sikanre Bale di Maros (Naia manurung ri Pakere ri wattuna tauwa ri Marusuq sikanre balei). Masa, yang mana tidak ada lagi Karaeng (Pemimpin) yang di dengar perkataannya/ perintahnya. Masa dimana tanaman tak membuahkan hasil, hujan turun terus menerus di iringi guntur yang terjadi dalam tujuh hari tujuh malam. Cuaca baik tak pernah datang ketika itu, tiba-tiba muncul istana (Saoraja) yang berdiri di tengah-tengah bidang tanah (parang) di Pakere, bersamaan dengan itu terlihat pula seseorang yang duduk di depan tangga istana. Mendengar akan hal ini [tentang dia] maka datanglah orang-orang memberi penghormatan, selanjutnya mengangkat Tumanurunga menjadi Karaeng mereka. Dari situlah beliau disebut Karaeng Loe ri Pakere.
Dikatakan bahwa sejak beliau diangkat oleh orang Maros sebagai Karaeng (pemimpin), tanaman pun berkembang dengan baik dan membuahkan hasil yang banyak. Maka banyaklah orang berdatangan dari luar Maros, selanjutnya tinggal disitu.
Tidak diketahui peris sejauh mana luas wilayah kekuasaan Karaeng Loe ri Pakere pada masa kepemimpinannya, hanya dikatakan bahwa semua tanah antara Bone dan Goa menyembah kepada Karaeng Loe ri Maros.
Tidak pula diketahui siapa istri beliau, hanya dikatakan bahwa beliau menemukan seorang Tumanurung perempuan di Pasadang (Karaeng Loe ri Pakere taena niassengi bainena mingka iami agappa tumanurung baine ri Pasadang). Kemudian ia mengadopsinya, tak lama kemudian terdengarlah kabar bahwa Tumanurunga di Luwuq dikatakan telah menghilang (Naallemo nakatuo lebaki malangereki kana nikana malayangi tumanurunga ri Luwuq). Turun di Asaang dan memiliki dua anak. Yang bungsu dinikahkan dengan Tumanurung perempuan di Pasadang (Turung ri Asaang mamanaq rua. Bungko-bungkona napasikalabinne manurunga ri Pasada). Mereka mempunyai satu anak laki-laki, yang dinamakan Sanggaji Gaddong (Iami mamanaq sitau buraqne. Iami niareng Sanggaji Gaddong). Yang selanjutnya menjadi pengganti Karaeng Loe ri Pakere sebagai Karaeng (pemimpin) di Maros.
SEJARAH MAKASSAR: Sejarah Maros : Karaeng Loe ri Pakere
SEJARAH MAKASSAR: Sejarah Maros : Karaeng Loe ri Pakere: "Karaeng Loe ri Pakere adalah Karaeng pertama di Maros. Beliau disebut juga sebagai Tumanurung, karena asal-usulnya tidak diketahui, nama p..."
Minggu, 27 Maret 2011
Kerajaan Gowa
A.Asal-Usul Dan Perkembangan Kerajaan Gowa
1.Masa Sebelum Tumanurung
Sebelum zaman Tumanurung, ada empat raja yang pernah mengendalikan Pemerintahan Gowa yakni : Batara Guru, saudara Batara Guru yang dibunuh oleh Tatali (tak diketahui nama aslinya), Ratu Sapu atau Marancai dan Karaeng Katangka (Nama aslinya tak diketahui).
Keempat raja tersebut tak diketahui asal-usulnya serta masa pemerintahannya. Tapi mungkin pada masa itu, Gowa purba terdiri dari 9 kasuwiang ( kasuwiyang salapang) mungkin pula lebih yang dikepalai seorang penguasa sebagai raja kecil. Setelah pemerintahan Karaeng katangka, maka sembilan kerajaan kecil bergabung dalam bentuk pemerintahan federasi yang diketuai oleh Paccalaya.
2.Masa Tumanurung
Berdasarkan hasil penelitian sejarah, baik melalui lontarak maupun cerita yang berkembang di masyarakat, dapat diketahui bahwa munculnya nama Gowa dimulai pada tahun 1320, yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa pertama bernama Tumanurunga.
Konon, sebelum Tumanurunga hadir di Butta Gowa, ada sembilan negeri kecil yang kini lebih dikenal dengan istilah Kasuwiang Salapanga yakni : Kasuwiang Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero. Kesembilan negeri tersebut mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan atau pemerintahan federasi dibawa pengawasan Paccallaya (Ketua Dewan Pemisah).
Walaupun mereka bersatu, tetapi ke sembilan negeri tersebut sering dilanda perang saudara antara Gowa di bagian utara dan Gowa di bagian selatan. Paccallaya sebagai ketua federasi tak sanggup mengatasi peperangan tersebut. Hal tersebut karena Paccallaya hanya berfungsi sebagai lambang yang tidak memiliki pengaruh kuat terhadap anggota persekutuan yang masing-masing punya hak otonom.
Untuk mengatasi perang saudara tersebut, diperlukan seorang pemimpin yang kharismatik dan dapat diterima oleh kesembilan kelompok tersebut. Terdengarlah berita orang Paccallaya, bahwa ada seorang putri yang turun di atas bukit Tamalate tepatnya di Taka’bassia. Saat penantian, orang-orang yang berada di Bonto Biraeng melihat seberkas cahaya dari utara bergerak perlahan-lahan turun menuju Taka’bassia.
Kejadian itu cepat diketahui oleh Gallarang Mangasa dan bolo yang memang diserahi tugas mencari tokoh yang bisa menjadi pemersatu kaum yang berseteru itu. Paccalaya bersama ke sembilan kasuwiang bergegas ke Taka’bassia. Di sana mereka duduk mengelilingi cahaya sambil bertafakur. Cahaya itu kemudian menjelma menjadi seorang putri yang cantik jelita disertai pakaian kebesarannya antara lain berupa mahkota.
Baik Paccalaya maupun Kasuwiang tak mengetahui nama putri tersebut, sehingga mereka sepakat memberi nama Tumanurung Bainea atau Tumanurung, artinya orang (wanita) yang tidak diketahui asal usulnya.
Karena putri ratu tersebut memiliki keajaiban, Paccalaya dan Kasuwiang Salapang sepakat untuk mengangkat Tumanurung sebagai rajanya. Paccalaya kemudian mendekati Tumanurunga seraya bersembah “Sombangku!” (Tuanku), kami datang semua ke hadapan sombangku, kiranya sombangku sudi menetap di negeri kami dan menjadi raja di negeri kami.
Permohonan Paccalaya tersebut dikabulkan, dan berseru “Sombai Karaengnu tu Gowa (Sombalah rajamu hai orang Gowa). Baik Kasuwiang maupun warga yang ada di sekitar itu berseru “Sombangku”. Setelah Tumanurunga resmi menjadi Raja Gowa pertama pada tahun 1320 negeri Gowa kembali menjadi aman.
Masa pemerintahan Tumanurunga berlangsung sejak tahun 1320-1345. Diriwayatkan, Tumanurunga kemudian kawin dengan Karaeng Bayo, yaitu seorang pendatang yang tidak diketahui asal usulnya. Hanya dikatakan berasal dari arah selatan bersama temannya Lakipadada. Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah Tumassalangga Baraya yang nantinya menggantikan ibunya menjadi raja Gowa kedua (1345-1370).
Menjelang abad XVI, pada masa pemerintahan Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi wilayahnya menjadi dua bagian terhadap dua orang putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero. Batara Gowa melanjutkan kekuasaan ayahnya yang meninggal dunia. Wilayahnya meliputi (1) Paccelekang, (2) Patalassang, (3) Bontomanai Ilau, (4) Bontomanai Iraya, (5) Tombolo, dan (6) Mangasa.
Adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru yang bernama kerajaan Tallo dengan wilayah sebagai berikut: (1) Saumata,(2) Pannampu, (3) Moncong Loe, dan (4) Parang Loe.
Beberapa kurun waktu, kedua kerajaan itu terlibat pertikaian dan baru berakhir pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna. Setelah melalui perang, beliau berhasil menaklukkan pemerintahan raja Tallo III I Mangayaoang Berang Karaeng Tunipasuru. Sejak itu, terbentuklah koalisi antara Kerajaan Gowa dan Tallo, dengan ditetapkannya bahwa Raja Tallo menjadi Karaeng Tumabbicara butta atau Mangkubumi (Perdana menteri) Kerajaan Gowa. Begitu eratnya hubungan kedua kerajaan ini sebagai kerajaan kembar, sehingga lahir pameo di kalangan rakyat Gowa dan Tallo dalam peribahasa “Dua Raja tapi hanya satu rakyat (Ruwa Karaeng Se’re Ata). Kesepakatan ini diperkuat oleh sebuah perjanjian yang dibuat dua kerajaan ini ,”iami anjo nasitalli’mo karaenga ri Gowa siagang karaenga ri Tallo, gallaranga iangaseng ribaruga nikelua. Ia iannamo tau ampasiewai Goa-Tallo, iamo macalla rewata”.
3.Masa Perkembangan Kerajaan Gowa
Pada permulaan abad ke-XVI kerajaan Gowa mengalami kemajuan di bidang Ekonomi dan politik pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manguntungi bergelar “Tumapakrisik Kallonna”, dan dipindahkanlah Ibukota dari istana kerajaan dari Tamalate ke Somba Opu.
Disana beliau membangun sebuah dermaga yang menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Maritim yang terkenal di wilayah nusantara bahkan sampai ke luar negeri. Bandar niaga Somba Opu dijadikan bandar transito sehingga ramai dikunjungi pedagang dari luar negeri.
Pada masa Karaeng Tumapakrisik Kallonna itu pula, Gowa telah berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan berapa daerah di sekitarnya, seperti Garassi, Katingan, Mandalle, Parigi, Siang (Pangkajene), Sidenreng, Lempangan, Bulukumba, Selayar, Panaikang, Campaga, Marusu, Polongbangkeng (Takalar), dan lain-lain. selanjutnya Sanrobone, Jipang, Galesong, Agang Nionjok, Tanete (Barru), Kahu, dan Pakombong dijadikannya sebagai Palilik atau kerajaan taklukan Gowa tetapi masih diberi kesempatan memerintah. Mereka diwajibkan membayar sabbukati (bea perang) dan mengakui supremasi Kerajaan Gowa.
Pada masa Karaeng Tumapakrisik Kallonna ini pula, Gowa mulai dikenal sebagai bandar niaga yang ramai dikunjungi dan disinggahi oleh kapal-kapal untuk melakukan bongkar muat rempah-rempah. Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, banyak pedagang dari negara asing yang berdatangan ke Makassar, termasuk orang Melayu pada tahun 1512, juga orang Portugis yang pertama datang ke Makassar (Gowa –Tallo) menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan pada tahun 1538. Orang Portugis inilah yang banyak mendapati kapal-kapal Makassar berkeliaran di sekeliling perairan Nusantara, bahkan sampai ke India, Siam (Muangthai) dan Filipina Selatan.
Untuk memperkuat pertahanan dan kedudukan istana di Somba Opu, Karaeng Tumapakrisik Kallonna memerintahkan untuk membangun sebuah benteng dari gundukan tanah yang mengelilingi istana pada tahun 1525. Benteng tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama Benteng Somba Opu. Putra Karaeng Tumapakrisik Kallonna sebagai Raja Gowa X Karaeng Tunipallangga Ulaweng selanjutnya merenovasi benteng tersebut dengan tembok bata serta membangun benteng pertahanan lainnya, antara lain benteng Tallo, Ujung Tanah, Ujung Pandang, Mariso, Panakukang, Garassi, Galesong, Barombong, Anak Gowa dan Kalegowa.
Setelah karaeng Tumapakrisik Kallonna wafat, beliau digantikan oleh puteranya I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) sebagai Raja Gowa X beserta mengkubuminya Nappakata`tana Daeng Padulung (Raja Tallo), melanjutkan cita-cita ayahandanya. Beliau memperkuat benteng-benteng pertahanan kerajaan dengan menjadikan Benteng somba Opu sebagai benmteng utama. Politik ekspansinya berjalan dengan baik. Kerajaan yang tidak mau tunduk pada pengaruh Gowa dianggap sebagai saingan yang harus ditaklukkan. Oleh karena itu Ia menyerang Bone yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja bone VII, La Tenrirawe Bongkange Matinro Ri Gucina.
Setelah Tonipallangga meninggal dunia, Ia digantikan oleh Tonibatta (1565) sebagai Raja Gowa XI. Nama lengkapnya adalah I Tajibarani Daeng Marompa, Karaeng Data, Tonibatta. Baginda adalah yang paling pendek masa jabatannya, yakni hanya 40 hari. Baru saja menduduki tampuk kekuasaan, ia langsung mengadakan ekspansi ke kerajaan Bone. Tonibatta tewas dalam keadaan tertetak sehingga digelar Tonibatta.
Jenazah Baginda dikembalikan ke Gowa diiringi pembesar-pembesar terkemuka kerajaan Bone. Beberapa saat setelah upacara berkabung selesai, dilakukanlah perundingan perdamaian antara kedua kerajaan. Perjanjian itu biasa disebut Ulukanaya ri Caleppa ( kesepakatan di caleppa). Setelah perundingan selesai, Raja Bone beserta penasehatnya Kajaolalido langsung ke Gowa mengikuti pelantikan Raja Gowa XII, Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tonijallo (1565-1590).
Keadaan damai dimanfaatkan oleh kerajaan bone untuk menyusun aliansi Tellunpoccoe atau “tiga puncak kerajaan Bugis” untuk menghadapi agresi Gowa. Tonijallo memandang aliansi ini sebagai ancaman langsung terhadap supremasi Gowa. Oleh karena itu, pada tahun 1583 ia melancarkan serangan terhadap Wajo. Tujuh tahun kemudian 1590, serangan dilanjutkan kembali tetapi Gowa tetap tidak mampu mengalahkan Tellumpoccoe. Tonijallo sendiri tewas diamuk oleh pengikutnya.
Sepeninggal Tonijallo, Ia digantikan oleh I Tepu Karaeng Daeng Parambung Karaeng ri Bontolangkasa Tonipasulu sebagai Raja Gowa XIII (1590-1593). Tidak banyak aktifitas yang dilakukannya sebab ia hanya memerintah selama tiga tahun, kemudian dipecat dari jabatannya. Pemecatan dilakukan karena banyak perbuatannya yang buruk, seperti pembunuhan dan pemecatan pejabat kerajaan secara semena-mena.
Pengganti tonipasulu adalah saudaranya I Manggerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tu Menanga ri Gaukanna, Raja Gowa ke-14, putra Tunijallo. Beliau dinobatkan ketika berumur 7 tahun . Oleh karena itu, pemerintahan kerajaan dijalankan oleh Mangkubumi/Raja Tallo-I yang bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri` Karaeng Katangka, Karaeng Matoaya, Tumenanga Ri Agamana, Sultan Awwalul Islam.
4.Islamisasi Kerajaan Gowa
Penerimaan Islam pada beberapa tempat di Nusantara memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima oleh masyarakat bawah, kemudiaan berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas disebut bottom up. Kedua, Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan kemudian disosialisasikan dan berkembang pada lapisan masyarakat bawah disebut top down. Penerimaan Islam di Gowa menurut penulis sejarah Islam, memperlihatkan pola yang kedua.
Kerajaan yang mula-mula memeluk Islam dengan resmi di Sulawesi Selatan adalah kerajaan kembar Gowa-Tallo. Tanggal peresmian Islam itu menurut lontara Gowa dan Tallo adalah malam Jum’at, 22 September 1605, atau 9 Jumadil Awal 1014 H. Dinyatakan bahwa Mangkubumi kerajaan Gowa / Raja Tallo I Mallingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan kalimat Syahadat (Ia di beri gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam) dan sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangenrangi Daeng Manrabia (Sultan Alauddin). Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa-Tallo memeluk agama Islam berdasar atas prinsip cocius region eius religio, dengan diadakannya shalat Jumat pertama di masjid Tallo tanggal 9 November 1607 / 19 Rajab 1016 H.
Adapun yang mengislamkan kedua raja tersebut ialah Datu ri Bandang (Abdul Makmur Chatib Tunggal) seorang ulama datang dari Minangkabau (Sumatera) ke Sulawesi Selatan bersama dua orang temannya yakni Datu Patimang (Chatib Sulaeman) yang mengislamkan pula Raja Luwu La Pataware Daeng Parabung dan Datu ri Tiro (Chatib Bungsu) yang menyebar Agama Islam di Tiro dan sekitarnya.
Sekitar enam tahun kemudian, kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan pun menerima Islam. Penyebarannya di dukung oleh Kerajaan Gowa sebagai pusat kekuatan pengislaman. Kerajaan bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng, berhubung karena menolak, akhirnya Raja Gowa melakukan perang, karena juga dianggap menentang kekuasaan Raja Gowa. Setelah takluk, penyebaran Islam dapat dilakukan dengan mudah di Kerajaan Bugis.
B. Zaman Keemasan
Setelah Kerajaan Gowa menerima Islam, semakin menapak puncak kejayaannya. Pada masa pemerintahan Raja Gowa XV I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikulsaid (1639-1653), kekuasaan dan pengaruhnya kian meluas dan diakui sebagai pemegang hegemoni dan supremasi di Sulawesi Selatan, bahkan kawasan Timur Indonesia.
Kemashuran Sultan Malikulsaid sampai ke Eropa dan Asia, terutama karena pada masa pemerintahannya, dia ditunjang oleh jasa-jasa Karaeng Pattingalloang sebagai Mangkubuminya yang terkenal itu, baik dari segi sosok kecendiakawanannya maupun keahliannya dalam berdiplomasi. Tidak heran, Gowa ketika itu telah mampu menjalin hubungan internasional yang akrab dengan raja-raja dan pembesar dari negara luar, seperti Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis, Raja Muda Portugis di Gowa (India), Gubernur Spayol dan Marchente di Mesoliputan (India), Mufti Besar Arabia dan terlebih lagi dengan kerajaan-kerajaan di sekitar Nusantara.
Kerjasama dengan bangsa-bangsa asing, terutama Eropa sejak Somba Opu menjadi Bandar Niaga Internasional. Bangsa Eropa gemar dengan rempah-rempah telah menjalin hubungan dagang dengan Gowa, seperti Inggris, Denmark, Portugis, Spanyol, Arab, dan Melayu. Mereka telah mendirikan kantor perwakilan dagang di Somba Opu. Dari tahun ke tahun hubungan Kerajaan Gowa dengan bangsa Eropa tidak mengalami ronrongan. Barulah terganggu setelah kehadiran orang-orang Belanda yang ingin memonopoli perdagangan dan menjajah.
Tanggal 5 November 1653 Sultan Malikulsaid wafat setelah mengendalikan pemerintahan Gowa selama 16 tahun. Beliau digantikan oleh puteranya I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin yang menjadi raja Gowa XVI (1653-1669). Dimasa Hasanuddin inilah ketegangan Gowa dengan Belanda kian meruncing. Hal tersebut karena sikap beliau sangat tegas dan tak mau tunduk pada Belanda. Tahun 1654-1655 terjadi pertempuran hebat antara Gowa dan Belanda di kepulauan Maluku. April 1655 armada Gowa yang langsung dipimpin Hasanuddin menyerang Buton, dan berhasil mendudukinya serta menewaskan semua tentara Belanda di negeri itu.
Setelah Belanda melihat kenyataan peperangan di Kawasan Timur Nusantara banyak menimbulkan kerugian menghadapi Gowa. Belanda dengan berbagai siasat menawarkan perdamaian. Tahun 1655 Belanda mengutus Willem Vanderbeck bersama Choja Sulaeman menghadap Sultan membawa pesan damai dari Gubernur jenderal Joan Maectsuyker tetapi tidak berhasil. Tanggal 17 Agustus 1655 tercapai perjanjian perdamaian 26 pasal sebagai hasil perundingan antara utusan Gowa yang diwakili Karaeng Popo dengan Gubernur Jenderal Belanda yang diwakili Dewan Hindia, Van Oudshoon. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Panglima perang Belanda Mayor Van Dam di Batavia.
Perjanjian itu kemudian oleh Sultan dianggap sangat merugikan Gowa, terutama atas pasal larangan orang-orang Makassar berdagang di Banda dan Ambon, maka Gowa akhirnya menolak perjanjian itu. Tanggal 20 November 1655 utusan Gubernur Jenderal Joan Maetsyuiker untuk sekian kalinya mencoba lagi menawarkan perdamaian dengan mengutus van Wesenhager, tetapi Gowa menolaknya karena tuntutannya merugikan Gowa. Demikian berbagai siasat perdamaian yang diajukan Belanda selalu gagal sehingga permusuhan tidak terelakkan, sehingga terjadi pertempuran poun terus bergolak antara Gowa dengan Belanda, mulai dari perairan Maluku, Banda sampai Makassar.
Karena Belanda putus asa menghadapi kegigihan rakyat Gowa dibawa pimpinan Sultan Hasanuddin, maka pada bulan Oktober 1666 Belanda menggerakkan armada persenjataannya yang paling kuat dibawa pimpinan Cornelis Speelman ke perairan Indonesia bagian timur, guna meruntuhkan kerajaan Gowa dan pengaruh hegemoninya. Dengan dibantu pasukan Bone dan pengikut Aruppalakka, dan pasukan Ambon dibawa pimpinan Kapten Yonker dalam perang melawan Gowa. Posisi Gowa saat itu, tidak hanya berperang melawan bangsa asing tetapi juga bangsanya sendiri.
Tahun 1667 perang besarpun bergolak antara Pasukan Gowa dengan Belanda. Karena kekuatan tidak seimbang, menyebabkan benteng milik Gowa satu persatu direbut Belanda dan sekutunya, seperti benteng galesong, Barombong melalui pertempuran sengit yang banyak menelan korban kedua belah pihak.
Melihat Gowa dalam posisi yang kurang menguntungkan, Speelman mengajukan tawaran perundingan. Tawaran tersebut diterima Sultan dengan pertimbangan, bukan karena takut berperang tetapi demi menghindari bertambahnya pertumpahan darah yang lebih banyak di kalangan orang-orang Makassar maupun sesama bangsa sendiri. Atas pertimbangan itu, Sultan Hasanuddin terpaksa menerima perdamaian dengan Belanda dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Dengan perjanjian Bongaya, Rakyat Gowa sangat dirugikan maka perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemar, sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani.
Perkembangan selanjutnya setelah Sultan Hasanuddin, Raja-raja Gowa masih terus melakukan perlawanan dengan Belanda. Hal itu dibuktikan dengan gigihnya perlawanan Raja Gowa XVIII Sultan Muhammad Ali (Putra Sultan Hasanuddin) yang gugur dalam tahanan Belanda di Batavia (Jakarta) pada tahun 1680. Raja Gowa XXVI Batara Gowa II setelah tertangkap dan diasingkan ke Sailon. Tidak terhitung putra-putri terbaik Gowa lainnya telah berjuan dan gugur di medan perang membela tanah airnya.
C. Masa Kemunduran dan Keruntuhan
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Aru Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar ( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kale Gowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah. Sebagai tanda jasa atas perjuangan Sultan Hasanuddin, Pemerintah Republik Indonesia atas SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 10 November 1973 menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Nasional.
Demikian Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya pada abad XVIII kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi penjajahan. Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.
1.Masa Sebelum Tumanurung
Sebelum zaman Tumanurung, ada empat raja yang pernah mengendalikan Pemerintahan Gowa yakni : Batara Guru, saudara Batara Guru yang dibunuh oleh Tatali (tak diketahui nama aslinya), Ratu Sapu atau Marancai dan Karaeng Katangka (Nama aslinya tak diketahui).
Keempat raja tersebut tak diketahui asal-usulnya serta masa pemerintahannya. Tapi mungkin pada masa itu, Gowa purba terdiri dari 9 kasuwiang ( kasuwiyang salapang) mungkin pula lebih yang dikepalai seorang penguasa sebagai raja kecil. Setelah pemerintahan Karaeng katangka, maka sembilan kerajaan kecil bergabung dalam bentuk pemerintahan federasi yang diketuai oleh Paccalaya.
2.Masa Tumanurung
Berdasarkan hasil penelitian sejarah, baik melalui lontarak maupun cerita yang berkembang di masyarakat, dapat diketahui bahwa munculnya nama Gowa dimulai pada tahun 1320, yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa pertama bernama Tumanurunga.
Konon, sebelum Tumanurunga hadir di Butta Gowa, ada sembilan negeri kecil yang kini lebih dikenal dengan istilah Kasuwiang Salapanga yakni : Kasuwiang Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero. Kesembilan negeri tersebut mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan atau pemerintahan federasi dibawa pengawasan Paccallaya (Ketua Dewan Pemisah).
Walaupun mereka bersatu, tetapi ke sembilan negeri tersebut sering dilanda perang saudara antara Gowa di bagian utara dan Gowa di bagian selatan. Paccallaya sebagai ketua federasi tak sanggup mengatasi peperangan tersebut. Hal tersebut karena Paccallaya hanya berfungsi sebagai lambang yang tidak memiliki pengaruh kuat terhadap anggota persekutuan yang masing-masing punya hak otonom.
Untuk mengatasi perang saudara tersebut, diperlukan seorang pemimpin yang kharismatik dan dapat diterima oleh kesembilan kelompok tersebut. Terdengarlah berita orang Paccallaya, bahwa ada seorang putri yang turun di atas bukit Tamalate tepatnya di Taka’bassia. Saat penantian, orang-orang yang berada di Bonto Biraeng melihat seberkas cahaya dari utara bergerak perlahan-lahan turun menuju Taka’bassia.
Kejadian itu cepat diketahui oleh Gallarang Mangasa dan bolo yang memang diserahi tugas mencari tokoh yang bisa menjadi pemersatu kaum yang berseteru itu. Paccalaya bersama ke sembilan kasuwiang bergegas ke Taka’bassia. Di sana mereka duduk mengelilingi cahaya sambil bertafakur. Cahaya itu kemudian menjelma menjadi seorang putri yang cantik jelita disertai pakaian kebesarannya antara lain berupa mahkota.
Baik Paccalaya maupun Kasuwiang tak mengetahui nama putri tersebut, sehingga mereka sepakat memberi nama Tumanurung Bainea atau Tumanurung, artinya orang (wanita) yang tidak diketahui asal usulnya.
Karena putri ratu tersebut memiliki keajaiban, Paccalaya dan Kasuwiang Salapang sepakat untuk mengangkat Tumanurung sebagai rajanya. Paccalaya kemudian mendekati Tumanurunga seraya bersembah “Sombangku!” (Tuanku), kami datang semua ke hadapan sombangku, kiranya sombangku sudi menetap di negeri kami dan menjadi raja di negeri kami.
Permohonan Paccalaya tersebut dikabulkan, dan berseru “Sombai Karaengnu tu Gowa (Sombalah rajamu hai orang Gowa). Baik Kasuwiang maupun warga yang ada di sekitar itu berseru “Sombangku”. Setelah Tumanurunga resmi menjadi Raja Gowa pertama pada tahun 1320 negeri Gowa kembali menjadi aman.
Masa pemerintahan Tumanurunga berlangsung sejak tahun 1320-1345. Diriwayatkan, Tumanurunga kemudian kawin dengan Karaeng Bayo, yaitu seorang pendatang yang tidak diketahui asal usulnya. Hanya dikatakan berasal dari arah selatan bersama temannya Lakipadada. Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah Tumassalangga Baraya yang nantinya menggantikan ibunya menjadi raja Gowa kedua (1345-1370).
Menjelang abad XVI, pada masa pemerintahan Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi wilayahnya menjadi dua bagian terhadap dua orang putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero. Batara Gowa melanjutkan kekuasaan ayahnya yang meninggal dunia. Wilayahnya meliputi (1) Paccelekang, (2) Patalassang, (3) Bontomanai Ilau, (4) Bontomanai Iraya, (5) Tombolo, dan (6) Mangasa.
Adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru yang bernama kerajaan Tallo dengan wilayah sebagai berikut: (1) Saumata,(2) Pannampu, (3) Moncong Loe, dan (4) Parang Loe.
Beberapa kurun waktu, kedua kerajaan itu terlibat pertikaian dan baru berakhir pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna. Setelah melalui perang, beliau berhasil menaklukkan pemerintahan raja Tallo III I Mangayaoang Berang Karaeng Tunipasuru. Sejak itu, terbentuklah koalisi antara Kerajaan Gowa dan Tallo, dengan ditetapkannya bahwa Raja Tallo menjadi Karaeng Tumabbicara butta atau Mangkubumi (Perdana menteri) Kerajaan Gowa. Begitu eratnya hubungan kedua kerajaan ini sebagai kerajaan kembar, sehingga lahir pameo di kalangan rakyat Gowa dan Tallo dalam peribahasa “Dua Raja tapi hanya satu rakyat (Ruwa Karaeng Se’re Ata). Kesepakatan ini diperkuat oleh sebuah perjanjian yang dibuat dua kerajaan ini ,”iami anjo nasitalli’mo karaenga ri Gowa siagang karaenga ri Tallo, gallaranga iangaseng ribaruga nikelua. Ia iannamo tau ampasiewai Goa-Tallo, iamo macalla rewata”.
3.Masa Perkembangan Kerajaan Gowa
Pada permulaan abad ke-XVI kerajaan Gowa mengalami kemajuan di bidang Ekonomi dan politik pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manguntungi bergelar “Tumapakrisik Kallonna”, dan dipindahkanlah Ibukota dari istana kerajaan dari Tamalate ke Somba Opu.
Disana beliau membangun sebuah dermaga yang menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Maritim yang terkenal di wilayah nusantara bahkan sampai ke luar negeri. Bandar niaga Somba Opu dijadikan bandar transito sehingga ramai dikunjungi pedagang dari luar negeri.
Pada masa Karaeng Tumapakrisik Kallonna itu pula, Gowa telah berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan berapa daerah di sekitarnya, seperti Garassi, Katingan, Mandalle, Parigi, Siang (Pangkajene), Sidenreng, Lempangan, Bulukumba, Selayar, Panaikang, Campaga, Marusu, Polongbangkeng (Takalar), dan lain-lain. selanjutnya Sanrobone, Jipang, Galesong, Agang Nionjok, Tanete (Barru), Kahu, dan Pakombong dijadikannya sebagai Palilik atau kerajaan taklukan Gowa tetapi masih diberi kesempatan memerintah. Mereka diwajibkan membayar sabbukati (bea perang) dan mengakui supremasi Kerajaan Gowa.
Pada masa Karaeng Tumapakrisik Kallonna ini pula, Gowa mulai dikenal sebagai bandar niaga yang ramai dikunjungi dan disinggahi oleh kapal-kapal untuk melakukan bongkar muat rempah-rempah. Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, banyak pedagang dari negara asing yang berdatangan ke Makassar, termasuk orang Melayu pada tahun 1512, juga orang Portugis yang pertama datang ke Makassar (Gowa –Tallo) menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan pada tahun 1538. Orang Portugis inilah yang banyak mendapati kapal-kapal Makassar berkeliaran di sekeliling perairan Nusantara, bahkan sampai ke India, Siam (Muangthai) dan Filipina Selatan.
Untuk memperkuat pertahanan dan kedudukan istana di Somba Opu, Karaeng Tumapakrisik Kallonna memerintahkan untuk membangun sebuah benteng dari gundukan tanah yang mengelilingi istana pada tahun 1525. Benteng tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama Benteng Somba Opu. Putra Karaeng Tumapakrisik Kallonna sebagai Raja Gowa X Karaeng Tunipallangga Ulaweng selanjutnya merenovasi benteng tersebut dengan tembok bata serta membangun benteng pertahanan lainnya, antara lain benteng Tallo, Ujung Tanah, Ujung Pandang, Mariso, Panakukang, Garassi, Galesong, Barombong, Anak Gowa dan Kalegowa.
Setelah karaeng Tumapakrisik Kallonna wafat, beliau digantikan oleh puteranya I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) sebagai Raja Gowa X beserta mengkubuminya Nappakata`tana Daeng Padulung (Raja Tallo), melanjutkan cita-cita ayahandanya. Beliau memperkuat benteng-benteng pertahanan kerajaan dengan menjadikan Benteng somba Opu sebagai benmteng utama. Politik ekspansinya berjalan dengan baik. Kerajaan yang tidak mau tunduk pada pengaruh Gowa dianggap sebagai saingan yang harus ditaklukkan. Oleh karena itu Ia menyerang Bone yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja bone VII, La Tenrirawe Bongkange Matinro Ri Gucina.
Setelah Tonipallangga meninggal dunia, Ia digantikan oleh Tonibatta (1565) sebagai Raja Gowa XI. Nama lengkapnya adalah I Tajibarani Daeng Marompa, Karaeng Data, Tonibatta. Baginda adalah yang paling pendek masa jabatannya, yakni hanya 40 hari. Baru saja menduduki tampuk kekuasaan, ia langsung mengadakan ekspansi ke kerajaan Bone. Tonibatta tewas dalam keadaan tertetak sehingga digelar Tonibatta.
Jenazah Baginda dikembalikan ke Gowa diiringi pembesar-pembesar terkemuka kerajaan Bone. Beberapa saat setelah upacara berkabung selesai, dilakukanlah perundingan perdamaian antara kedua kerajaan. Perjanjian itu biasa disebut Ulukanaya ri Caleppa ( kesepakatan di caleppa). Setelah perundingan selesai, Raja Bone beserta penasehatnya Kajaolalido langsung ke Gowa mengikuti pelantikan Raja Gowa XII, Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tonijallo (1565-1590).
Keadaan damai dimanfaatkan oleh kerajaan bone untuk menyusun aliansi Tellunpoccoe atau “tiga puncak kerajaan Bugis” untuk menghadapi agresi Gowa. Tonijallo memandang aliansi ini sebagai ancaman langsung terhadap supremasi Gowa. Oleh karena itu, pada tahun 1583 ia melancarkan serangan terhadap Wajo. Tujuh tahun kemudian 1590, serangan dilanjutkan kembali tetapi Gowa tetap tidak mampu mengalahkan Tellumpoccoe. Tonijallo sendiri tewas diamuk oleh pengikutnya.
Sepeninggal Tonijallo, Ia digantikan oleh I Tepu Karaeng Daeng Parambung Karaeng ri Bontolangkasa Tonipasulu sebagai Raja Gowa XIII (1590-1593). Tidak banyak aktifitas yang dilakukannya sebab ia hanya memerintah selama tiga tahun, kemudian dipecat dari jabatannya. Pemecatan dilakukan karena banyak perbuatannya yang buruk, seperti pembunuhan dan pemecatan pejabat kerajaan secara semena-mena.
Pengganti tonipasulu adalah saudaranya I Manggerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tu Menanga ri Gaukanna, Raja Gowa ke-14, putra Tunijallo. Beliau dinobatkan ketika berumur 7 tahun . Oleh karena itu, pemerintahan kerajaan dijalankan oleh Mangkubumi/Raja Tallo-I yang bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri` Karaeng Katangka, Karaeng Matoaya, Tumenanga Ri Agamana, Sultan Awwalul Islam.
4.Islamisasi Kerajaan Gowa
Penerimaan Islam pada beberapa tempat di Nusantara memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima oleh masyarakat bawah, kemudiaan berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas disebut bottom up. Kedua, Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan kemudian disosialisasikan dan berkembang pada lapisan masyarakat bawah disebut top down. Penerimaan Islam di Gowa menurut penulis sejarah Islam, memperlihatkan pola yang kedua.
Kerajaan yang mula-mula memeluk Islam dengan resmi di Sulawesi Selatan adalah kerajaan kembar Gowa-Tallo. Tanggal peresmian Islam itu menurut lontara Gowa dan Tallo adalah malam Jum’at, 22 September 1605, atau 9 Jumadil Awal 1014 H. Dinyatakan bahwa Mangkubumi kerajaan Gowa / Raja Tallo I Mallingkaeng Daeng Manyonri mula-mula menerima dan mengucapkan kalimat Syahadat (Ia di beri gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam) dan sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangenrangi Daeng Manrabia (Sultan Alauddin). Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa-Tallo memeluk agama Islam berdasar atas prinsip cocius region eius religio, dengan diadakannya shalat Jumat pertama di masjid Tallo tanggal 9 November 1607 / 19 Rajab 1016 H.
Adapun yang mengislamkan kedua raja tersebut ialah Datu ri Bandang (Abdul Makmur Chatib Tunggal) seorang ulama datang dari Minangkabau (Sumatera) ke Sulawesi Selatan bersama dua orang temannya yakni Datu Patimang (Chatib Sulaeman) yang mengislamkan pula Raja Luwu La Pataware Daeng Parabung dan Datu ri Tiro (Chatib Bungsu) yang menyebar Agama Islam di Tiro dan sekitarnya.
Sekitar enam tahun kemudian, kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan pun menerima Islam. Penyebarannya di dukung oleh Kerajaan Gowa sebagai pusat kekuatan pengislaman. Kerajaan bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng, berhubung karena menolak, akhirnya Raja Gowa melakukan perang, karena juga dianggap menentang kekuasaan Raja Gowa. Setelah takluk, penyebaran Islam dapat dilakukan dengan mudah di Kerajaan Bugis.
B. Zaman Keemasan
Setelah Kerajaan Gowa menerima Islam, semakin menapak puncak kejayaannya. Pada masa pemerintahan Raja Gowa XV I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikulsaid (1639-1653), kekuasaan dan pengaruhnya kian meluas dan diakui sebagai pemegang hegemoni dan supremasi di Sulawesi Selatan, bahkan kawasan Timur Indonesia.
Kemashuran Sultan Malikulsaid sampai ke Eropa dan Asia, terutama karena pada masa pemerintahannya, dia ditunjang oleh jasa-jasa Karaeng Pattingalloang sebagai Mangkubuminya yang terkenal itu, baik dari segi sosok kecendiakawanannya maupun keahliannya dalam berdiplomasi. Tidak heran, Gowa ketika itu telah mampu menjalin hubungan internasional yang akrab dengan raja-raja dan pembesar dari negara luar, seperti Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis, Raja Muda Portugis di Gowa (India), Gubernur Spayol dan Marchente di Mesoliputan (India), Mufti Besar Arabia dan terlebih lagi dengan kerajaan-kerajaan di sekitar Nusantara.
Kerjasama dengan bangsa-bangsa asing, terutama Eropa sejak Somba Opu menjadi Bandar Niaga Internasional. Bangsa Eropa gemar dengan rempah-rempah telah menjalin hubungan dagang dengan Gowa, seperti Inggris, Denmark, Portugis, Spanyol, Arab, dan Melayu. Mereka telah mendirikan kantor perwakilan dagang di Somba Opu. Dari tahun ke tahun hubungan Kerajaan Gowa dengan bangsa Eropa tidak mengalami ronrongan. Barulah terganggu setelah kehadiran orang-orang Belanda yang ingin memonopoli perdagangan dan menjajah.
Tanggal 5 November 1653 Sultan Malikulsaid wafat setelah mengendalikan pemerintahan Gowa selama 16 tahun. Beliau digantikan oleh puteranya I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin yang menjadi raja Gowa XVI (1653-1669). Dimasa Hasanuddin inilah ketegangan Gowa dengan Belanda kian meruncing. Hal tersebut karena sikap beliau sangat tegas dan tak mau tunduk pada Belanda. Tahun 1654-1655 terjadi pertempuran hebat antara Gowa dan Belanda di kepulauan Maluku. April 1655 armada Gowa yang langsung dipimpin Hasanuddin menyerang Buton, dan berhasil mendudukinya serta menewaskan semua tentara Belanda di negeri itu.
Setelah Belanda melihat kenyataan peperangan di Kawasan Timur Nusantara banyak menimbulkan kerugian menghadapi Gowa. Belanda dengan berbagai siasat menawarkan perdamaian. Tahun 1655 Belanda mengutus Willem Vanderbeck bersama Choja Sulaeman menghadap Sultan membawa pesan damai dari Gubernur jenderal Joan Maectsuyker tetapi tidak berhasil. Tanggal 17 Agustus 1655 tercapai perjanjian perdamaian 26 pasal sebagai hasil perundingan antara utusan Gowa yang diwakili Karaeng Popo dengan Gubernur Jenderal Belanda yang diwakili Dewan Hindia, Van Oudshoon. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Panglima perang Belanda Mayor Van Dam di Batavia.
Perjanjian itu kemudian oleh Sultan dianggap sangat merugikan Gowa, terutama atas pasal larangan orang-orang Makassar berdagang di Banda dan Ambon, maka Gowa akhirnya menolak perjanjian itu. Tanggal 20 November 1655 utusan Gubernur Jenderal Joan Maetsyuiker untuk sekian kalinya mencoba lagi menawarkan perdamaian dengan mengutus van Wesenhager, tetapi Gowa menolaknya karena tuntutannya merugikan Gowa. Demikian berbagai siasat perdamaian yang diajukan Belanda selalu gagal sehingga permusuhan tidak terelakkan, sehingga terjadi pertempuran poun terus bergolak antara Gowa dengan Belanda, mulai dari perairan Maluku, Banda sampai Makassar.
Karena Belanda putus asa menghadapi kegigihan rakyat Gowa dibawa pimpinan Sultan Hasanuddin, maka pada bulan Oktober 1666 Belanda menggerakkan armada persenjataannya yang paling kuat dibawa pimpinan Cornelis Speelman ke perairan Indonesia bagian timur, guna meruntuhkan kerajaan Gowa dan pengaruh hegemoninya. Dengan dibantu pasukan Bone dan pengikut Aruppalakka, dan pasukan Ambon dibawa pimpinan Kapten Yonker dalam perang melawan Gowa. Posisi Gowa saat itu, tidak hanya berperang melawan bangsa asing tetapi juga bangsanya sendiri.
Tahun 1667 perang besarpun bergolak antara Pasukan Gowa dengan Belanda. Karena kekuatan tidak seimbang, menyebabkan benteng milik Gowa satu persatu direbut Belanda dan sekutunya, seperti benteng galesong, Barombong melalui pertempuran sengit yang banyak menelan korban kedua belah pihak.
Melihat Gowa dalam posisi yang kurang menguntungkan, Speelman mengajukan tawaran perundingan. Tawaran tersebut diterima Sultan dengan pertimbangan, bukan karena takut berperang tetapi demi menghindari bertambahnya pertumpahan darah yang lebih banyak di kalangan orang-orang Makassar maupun sesama bangsa sendiri. Atas pertimbangan itu, Sultan Hasanuddin terpaksa menerima perdamaian dengan Belanda dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Dengan perjanjian Bongaya, Rakyat Gowa sangat dirugikan maka perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemar, sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani.
Perkembangan selanjutnya setelah Sultan Hasanuddin, Raja-raja Gowa masih terus melakukan perlawanan dengan Belanda. Hal itu dibuktikan dengan gigihnya perlawanan Raja Gowa XVIII Sultan Muhammad Ali (Putra Sultan Hasanuddin) yang gugur dalam tahanan Belanda di Batavia (Jakarta) pada tahun 1680. Raja Gowa XXVI Batara Gowa II setelah tertangkap dan diasingkan ke Sailon. Tidak terhitung putra-putri terbaik Gowa lainnya telah berjuan dan gugur di medan perang membela tanah airnya.
C. Masa Kemunduran dan Keruntuhan
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Aru Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar ( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kale Gowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah. Sebagai tanda jasa atas perjuangan Sultan Hasanuddin, Pemerintah Republik Indonesia atas SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 10 November 1973 menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Nasional.
Demikian Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya pada abad XVIII kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi penjajahan. Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.
Sabtu, 26 Maret 2011
Sejarah Maros : Karaeng Loe ri Pakere
Karaeng Loe ri Pakere adalah Karaeng pertama di Maros. Beliau disebut juga sebagai Tumanurung, karena asal-usulnya tidak diketahui, nama pribadinya pun tidak diketahui. Beliau turun di Pakere ketika masa sikanre Bale di Maros (Naia manurung ri Pakere ri wattuna tauwa ri Marusuq sikanre balei). Masa, yang mana tidak ada lagi Karaeng (Pemimpin) yang di dengar perkataannya/ perintahnya. Masa dimana tanaman tak membuahkan hasil, hujan turun terus menerus di iringi guntur yang terjadi dalam tujuh hari tujuh malam. Cuaca baik tak pernah datang ketika itu, tiba-tiba muncul istana (Saoraja) yang berdiri di tengah-tengah bidang tanah (parang) di Pakere, bersamaan dengan itu terlihat pula seseorang yang duduk di depan tangga istana. Mendengar akan hal ini [tentang dia] maka datanglah orang-orang memberi penghormatan, selanjutnya mengangkat Tumanurunga menjadi Karaeng mereka. Dari situlah beliau disebut Karaeng Loe ri Pakere.
Dikatakan bahwa sejak beliau diangkat oleh orang Maros sebagai Karaeng (pemimpin), tanaman pun berkembang dengan baik dan membuahkan hasil yang banyak. Maka banyaklah orang berdatangan dari luar Maros, selanjutnya tinggal disitu.
Tidak diketahui peris sejauh mana luas wilayah kekuasaan Karaeng Loe ri Pakere pada masa kepemimpinannya, hanya dikatakan bahwa semua tanah antara Bone dan Goa menyembah kepada Karaeng Loe ri Maros.
Tidak pula diketahui siapa istri beliau, hanya dikatakan bahwa beliau menemukan seorang Tumanurung perempuan di Pasadang (Karaeng Loe ri Pakere taena niassengi bainena mingka iami agappa tumanurung baine ri Pasadang). Kemudian ia mengadopsinya, tak lama kemudian terdengarlah kabar bahwa Tumanurunga di Luwuq dikatakan telah menghilang (Naallemo nakatuo lebaki malangereki kana nikana malayangi tumanurunga ri Luwuq). Turun di Asaang dan memiliki dua anak. Yang bungsu dinikahkan dengan Tumanurung perempuan di Pasadang (Turung ri Asaang mamanaq rua. Bungko-bungkona napasikalabinne manurunga ri Pasada). Mereka mempunyai satu anak laki-laki, yang dinamakan Sanggaji Gaddong (Iami mamanaq sitau buraqne. Iami niareng Sanggaji Gaddong). Yang selanjutnya menjadi pengganti Karaeng Loe ri Pakere sebagai Karaeng (pemimpin) di Maros.
SEJARAH RINGKAS KERAJAAN BARRU
Menurut cerita-cerita orang dahulu, nama Barru sebelum terbentuknya kerajaan terjadi akibat perkawinan turunan bangsawan Luwu dengan Gowa diatas bukit Ajarenge dimana disitu banyak pepohonan kayu yang disebut Aju Beru. Kemudian nama Aju Beru itulah yang hingga kini dikenal dengan nama Barru.
Sebelum adanya kerajaan di Barru, menurut Lontara silsilah Raja-raja Barru pada mulanya Barru dirintis oleh Puang Ribulu Puang Ricampa hingga datangnya seorang keturunan ManurungE Ri Jangang-Jangngan menjadi Raja pertama (I) di Barru yang kemudian setelah wafatnya digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Kajuara. Adapun batas-batas kerajaan Barru pada masa itu adalah:
1. Sebelah Selatan berbatasan dengan kerajaan Tanete
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Soppeng
3. Sebelah Utara berbatasan dengan Soppeng Riaja
4. Sebelah Barat berbatasan dengan lautan Selat Makassar.
Dengan batas kerajaan inilah raja Barru ke III yaitu MatinroE Ri Daunglesang melaksanakan pemerintahannya dengan mendirikan Bate Tuwung dan Bate Mangempang. Setelah raja ke III ini wafat beliau digantikan oleh puteranya yaitu MatinroE Ri Gollana sebagai raja ke IV dan dalam pemerintahannya beliau menganggap perlu kerajaan Barru ini dibagi menjadi :
1. Barru Timur
2. Barru Barat
Barru Timur yaitu diperkirakan pada daerah sekitar pegunungan dan Barru Barat yaitu daerah sekitar pesisir pantai. Barru Timur kemudian diserahkan kekuasaannya kepada adiknya sedangkan raja Barru MatinroE Ri Gollana memerintah di Barru Barat. Setalah wafatnya MatinroE Ri Gollana beliau digantikan oleh puteranya yang bernama MatinroE Ri Data (V). Raja ini memiliki persahabatan yang cukup dekat dengan raja Soppeng dan setelah wafatnya digantikan oleh puteranya yang bernama MatinroE Ri Bulu (VI). Pada masa pemerintahannya beliau pernah berperang dengan Soppeng dan bersahabat dengan Suppa. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puteranya yang bernama MatinroE Ri Barugana. Dalam pemerintahannya pernah hidup seorang pemberani yang bernama To Pakapo dan pernah berperang dengan Pange dan Palakka yang berakhir dengan kemenangan Palakka. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh Daeng Maero MatinroE Ri Lamuru sebagai raja ke delapan (VIII). Pada masa pemerintahan beliau datanlah orang dari Gelle untuk meminta tempat tinggal dan diberikanlah daerah Madello sehingga mereka dikenal dengan sebutan orang Madello. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Ajuarana (IX). Pada masa pemrintahan beliau datang orang Sawitto meminta tinggal dan diberikanlah tiga daerah yaitu Coppo, Ammaro, dan Maganjang dengan jalan menyewa tanah. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh MatinroE Ri Coppobulu (X). Raja inilah yang membawa Bate Bolonge ke Tanete untuk ditukar dengan Batena Tanete yaitu La Sarewong kemudian dibawa ke Barru. Pada masa beliau jugalah dibentuk empat kepala kampung yang disebut Matowa yaitu Matowa Baleng, Matowa Tuwung, Matowa Batubessi dan Matowa Ta’. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Laleng Beru (XI). Raja inilah yang menerangkan ArajangE La Sarewo apabila hendak diupacarakan. Pada masa pemerintahan beliau datanglah seorang Karaeng dari Gowa untuk menyerang Tanete dan dimenangkan oleh Karaenge dari Gowa. Pada waktu itulah raja Barru bermaksud berangkat ke Pancana untuk menerima ajaran agama Islam. Belum tercapai niatnya tersebut beliau sudah wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Duajenna (XII). Raja inilah yang pertama membawa masuk agama Islam di Barru. Karena beliau tidak memiliki anak maka setelah wafatnya beliau digantikan oleh kemenakannya To Riwetta Ri Bampa. Beliau pernah berperang dengan kerajaan Bone yang waktu itu dibawah kekuasaan Petta Malampe Gemmegna. Beliau wafat dalam medan perang dan kemudian digantikan oleh saudaranya (XIV). Raja inilah yang kemudian bersahabat dengan Bone dan setelah wafatnya beliau digantikan oleh sepupunya seorang perempuan yaitu MatinroE Ri Gamaccana (XV). Raja inilah perempuan pertama yang menjabat sebagai raja di Barru dan kemudian menikah dengan anak raja Gowa. Beliau jugalah yang menyatukan kembali Barru Timur dan Barru Barat dengan pusat kerajaan di Barru Barat. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama I Lipa Daeng Manako yang setelah wafatnya bergelar MatinroE Ri Madello (XVI). Raja inilah yang kemudian membawa sebagian rakyat dari pihak Bapaknya yaitu Bajeng ke Padangke dan membuka perkampungan disana. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh I Malewai MatinroE RI MaridiE (XVII). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh I Rakiyah Karaeng Agangjene (XVIII). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama To Appo MatinroE Ri SumpangbinangaE (XIX). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh To Apasewa MatinroE Ri Amalana (XX). Beliau menikah dengan I Halija Arung Pao-Pao. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puteranya yang bernama To Patarai MatinroE Ri Masigina (XXI). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puterinya yang bernama We Tenripada (XXII) dan kawin dengan anak raja Gowa Patimatarang. Raja inilah yang juga pertama kali membangun mesjid di Mangempang. Beliau kebanyakan berdomisili di Gowa dan sehingga wafatnyapun di Gowa. Setelah wafatnya pangulu adat kerajaan menyerahkan kerajaan Barru kepada suaminya yang bernama Patimatarang namun hanya berjalan selama setahun saja. Kemudian beliau menyerahkan kerajaan Barru kepada puterinya yaitu Batari Toja (XXIII) pada tahun 1895. Pada masa pemerintahan beliau terjadi perang antara Tanete dan Lipukasi yang berakhir dengan direbutnya Lipukasi oleh raja Tanete (Pancaitana). Setelah itu batas kerajaan Barru berubah menjadi:
1. Sebelah Utara sampai sungai Madello hingga ke Selatan sampai ke sungai Lajari.
2. Dari pesisir pantai Selat Makassar sampai ke Timur kerajaan Soppeng.
Karena Batari Toja dalam pemerintahannya kebanyakan berada di Gowa sehingga untuk melaksanakan pemerintahan diberi kepercayaan kepada:
1. ANDI MATTANIO ARUNG TUWUNG (Ayahanda ANDI DJUANNA DG MALIUNGAN) melaksanakan pemerintahan disebelah Selatan sungai ( Taitang Salo)
2. Daeng Magading melaksanakan pemerintahan di sebelah Utara sungai (Manerang Salo).
Pada tahun 1908 Batari Toja digantikan oleh puteranya yang bernama Kalimullah Karaeng Lembang Parang atau dikenal dengan nama Kalimullah Djonjo Karaeng Lembang Parang. Pada masa itu yang menjabat sebagai Sulewatang (Pengganti kekuatan raja) adalah Andi Djuanna Daeng Maliungan.
Kerajaan Barru Menjadi Swapraja
Pada masa Kalimullah Djonjo Karaeng Lembang Parang yaitu di tahun 1908 kerajaan Barru menjadi Onder Afdelling dan dibawah pengawasa Controlleur Belanda hingga tahun 1942. Kemudian Jepang datang tahun 1942 dan melanjutkan pemerintahannya hingga tahun 1945. Setelah Jepang berakhir kembali kerajaan Barru dibawah penguasaan Controlleur Steller yang berkuasa di Barru sampai tahun 1946. Pada tanggal 9 September 1945 Andi Sadapoto yaitu putera Karaeng Lembang Parang diangkat menjadi raja untuk menggantikan Ayahnya. Pada tahun 1947 Andi Sadapoto digantikan oleh Andi Sahribanong dan dalam tahun 1948 inilah kerajaan Barru berubah menjadi Swapraja dengan kepala pemerintahannya yang baru bernama K.P.N. Abdul Latief Daeng Masiki kemudian diganti oleh Patotoreng dan sebagai kepala swapraja Andi Sahribanong kemudian diganti oleh Andi Sumangerukka.
Sebelum adanya kerajaan di Barru, menurut Lontara silsilah Raja-raja Barru pada mulanya Barru dirintis oleh Puang Ribulu Puang Ricampa hingga datangnya seorang keturunan ManurungE Ri Jangang-Jangngan menjadi Raja pertama (I) di Barru yang kemudian setelah wafatnya digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Kajuara. Adapun batas-batas kerajaan Barru pada masa itu adalah:
1. Sebelah Selatan berbatasan dengan kerajaan Tanete
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Soppeng
3. Sebelah Utara berbatasan dengan Soppeng Riaja
4. Sebelah Barat berbatasan dengan lautan Selat Makassar.
Dengan batas kerajaan inilah raja Barru ke III yaitu MatinroE Ri Daunglesang melaksanakan pemerintahannya dengan mendirikan Bate Tuwung dan Bate Mangempang. Setelah raja ke III ini wafat beliau digantikan oleh puteranya yaitu MatinroE Ri Gollana sebagai raja ke IV dan dalam pemerintahannya beliau menganggap perlu kerajaan Barru ini dibagi menjadi :
1. Barru Timur
2. Barru Barat
Barru Timur yaitu diperkirakan pada daerah sekitar pegunungan dan Barru Barat yaitu daerah sekitar pesisir pantai. Barru Timur kemudian diserahkan kekuasaannya kepada adiknya sedangkan raja Barru MatinroE Ri Gollana memerintah di Barru Barat. Setalah wafatnya MatinroE Ri Gollana beliau digantikan oleh puteranya yang bernama MatinroE Ri Data (V). Raja ini memiliki persahabatan yang cukup dekat dengan raja Soppeng dan setelah wafatnya digantikan oleh puteranya yang bernama MatinroE Ri Bulu (VI). Pada masa pemerintahannya beliau pernah berperang dengan Soppeng dan bersahabat dengan Suppa. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puteranya yang bernama MatinroE Ri Barugana. Dalam pemerintahannya pernah hidup seorang pemberani yang bernama To Pakapo dan pernah berperang dengan Pange dan Palakka yang berakhir dengan kemenangan Palakka. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh Daeng Maero MatinroE Ri Lamuru sebagai raja ke delapan (VIII). Pada masa pemerintahan beliau datanlah orang dari Gelle untuk meminta tempat tinggal dan diberikanlah daerah Madello sehingga mereka dikenal dengan sebutan orang Madello. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Ajuarana (IX). Pada masa pemrintahan beliau datang orang Sawitto meminta tinggal dan diberikanlah tiga daerah yaitu Coppo, Ammaro, dan Maganjang dengan jalan menyewa tanah. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh MatinroE Ri Coppobulu (X). Raja inilah yang membawa Bate Bolonge ke Tanete untuk ditukar dengan Batena Tanete yaitu La Sarewong kemudian dibawa ke Barru. Pada masa beliau jugalah dibentuk empat kepala kampung yang disebut Matowa yaitu Matowa Baleng, Matowa Tuwung, Matowa Batubessi dan Matowa Ta’. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Laleng Beru (XI). Raja inilah yang menerangkan ArajangE La Sarewo apabila hendak diupacarakan. Pada masa pemerintahan beliau datanglah seorang Karaeng dari Gowa untuk menyerang Tanete dan dimenangkan oleh Karaenge dari Gowa. Pada waktu itulah raja Barru bermaksud berangkat ke Pancana untuk menerima ajaran agama Islam. Belum tercapai niatnya tersebut beliau sudah wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama MatinroE Ri Duajenna (XII). Raja inilah yang pertama membawa masuk agama Islam di Barru. Karena beliau tidak memiliki anak maka setelah wafatnya beliau digantikan oleh kemenakannya To Riwetta Ri Bampa. Beliau pernah berperang dengan kerajaan Bone yang waktu itu dibawah kekuasaan Petta Malampe Gemmegna. Beliau wafat dalam medan perang dan kemudian digantikan oleh saudaranya (XIV). Raja inilah yang kemudian bersahabat dengan Bone dan setelah wafatnya beliau digantikan oleh sepupunya seorang perempuan yaitu MatinroE Ri Gamaccana (XV). Raja inilah perempuan pertama yang menjabat sebagai raja di Barru dan kemudian menikah dengan anak raja Gowa. Beliau jugalah yang menyatukan kembali Barru Timur dan Barru Barat dengan pusat kerajaan di Barru Barat. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama I Lipa Daeng Manako yang setelah wafatnya bergelar MatinroE Ri Madello (XVI). Raja inilah yang kemudian membawa sebagian rakyat dari pihak Bapaknya yaitu Bajeng ke Padangke dan membuka perkampungan disana. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh I Malewai MatinroE RI MaridiE (XVII). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh I Rakiyah Karaeng Agangjene (XVIII). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh anaknya yang bernama To Appo MatinroE Ri SumpangbinangaE (XIX). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh To Apasewa MatinroE Ri Amalana (XX). Beliau menikah dengan I Halija Arung Pao-Pao. Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puteranya yang bernama To Patarai MatinroE Ri Masigina (XXI). Setelah wafatnya beliau digantikan oleh puterinya yang bernama We Tenripada (XXII) dan kawin dengan anak raja Gowa Patimatarang. Raja inilah yang juga pertama kali membangun mesjid di Mangempang. Beliau kebanyakan berdomisili di Gowa dan sehingga wafatnyapun di Gowa. Setelah wafatnya pangulu adat kerajaan menyerahkan kerajaan Barru kepada suaminya yang bernama Patimatarang namun hanya berjalan selama setahun saja. Kemudian beliau menyerahkan kerajaan Barru kepada puterinya yaitu Batari Toja (XXIII) pada tahun 1895. Pada masa pemerintahan beliau terjadi perang antara Tanete dan Lipukasi yang berakhir dengan direbutnya Lipukasi oleh raja Tanete (Pancaitana). Setelah itu batas kerajaan Barru berubah menjadi:
1. Sebelah Utara sampai sungai Madello hingga ke Selatan sampai ke sungai Lajari.
2. Dari pesisir pantai Selat Makassar sampai ke Timur kerajaan Soppeng.
Karena Batari Toja dalam pemerintahannya kebanyakan berada di Gowa sehingga untuk melaksanakan pemerintahan diberi kepercayaan kepada:
1. ANDI MATTANIO ARUNG TUWUNG (Ayahanda ANDI DJUANNA DG MALIUNGAN) melaksanakan pemerintahan disebelah Selatan sungai ( Taitang Salo)
2. Daeng Magading melaksanakan pemerintahan di sebelah Utara sungai (Manerang Salo).
Pada tahun 1908 Batari Toja digantikan oleh puteranya yang bernama Kalimullah Karaeng Lembang Parang atau dikenal dengan nama Kalimullah Djonjo Karaeng Lembang Parang. Pada masa itu yang menjabat sebagai Sulewatang (Pengganti kekuatan raja) adalah Andi Djuanna Daeng Maliungan.
Kerajaan Barru Menjadi Swapraja
Pada masa Kalimullah Djonjo Karaeng Lembang Parang yaitu di tahun 1908 kerajaan Barru menjadi Onder Afdelling dan dibawah pengawasa Controlleur Belanda hingga tahun 1942. Kemudian Jepang datang tahun 1942 dan melanjutkan pemerintahannya hingga tahun 1945. Setelah Jepang berakhir kembali kerajaan Barru dibawah penguasaan Controlleur Steller yang berkuasa di Barru sampai tahun 1946. Pada tanggal 9 September 1945 Andi Sadapoto yaitu putera Karaeng Lembang Parang diangkat menjadi raja untuk menggantikan Ayahnya. Pada tahun 1947 Andi Sadapoto digantikan oleh Andi Sahribanong dan dalam tahun 1948 inilah kerajaan Barru berubah menjadi Swapraja dengan kepala pemerintahannya yang baru bernama K.P.N. Abdul Latief Daeng Masiki kemudian diganti oleh Patotoreng dan sebagai kepala swapraja Andi Sahribanong kemudian diganti oleh Andi Sumangerukka.
MERIAM ANAK MAKASSAR
“Anak Makassar” adalah meriam yang terbesar yang pernah ada dan dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam bidang pertahanan. Panjang diameter lobang mulutnya 41,5 cm, sehingga orang dengan mudah dapat masuk ke dalamnya.
Menurut Dr. K.G. Crucq yang banyak melakukan penelitian tentang meriam-meriam yang ada di Indonesia, bahwa meriam “Anak Makassar” yang ada di Benteng Somba Opu itu lebih besar dari padameriam “Pancawura” atau “Kyai Sapujagad” yang ada di Keraton Surakarta. Jika dibandingkan dengan meriam-meriam kramat lainnya, seperti misalnya meriam “Ki Amuk” yang ada di banten, meriam “Anak Makassar” lebih besar ukuran atau kalibernya.
Buku karya Dr. K.C. Crucq yang berjudul De Geschiedenis van Het Heiling Kanon van Makassar (Sejarah Meriam Orang-orang Makassar), menuliskan: “Kemudian armada (dipimpin oleh Van Dam pada tahun 1660) mendekati Somba Opu yang dipertahankan oleh tiga buah benteng yang diperkuat, yakni Panakoke (maksudnya Panakkukang), Samba Opu (maksudnya Somba Opu) dan Ujung Pandang. Benteng-benteng itu dipersenjatai dengan 130 meriam. Benteng Somba Opu berbentuk persegi empat. Dinding atau front sebelah barat (yakni sebelah atau arah laut Selat Makassar) dan dinding sebelah utara sangat diperkuat. Di dinding barat (arah Selat Makassar) terdapat Baluwara Barat Daya, Baluwara Tengah dan Baluwara Barat laut yang juga sering disebut Baluwara Agung (Groot Bolwerk). Di Baluwara agung inilah ditempatkan sebuah meriam yang amat dahsyat yang disebut meriam “Anak Makassar”.
J.W. Vogel dalam tulisannya yang berjudul “Oost-Indianische Reisbesch-reibung” menggambarkan bahwa mulut meriam “Anak Makassar “ itu sedemikan besarnya “dass der grosste mensch gar fuglich hinein kriechten und sich verbergenkan” (sehingga orang yang paling besar sekalipun dengan mudah dapat merayap ke dalamnya dan bersembunyi di situ). Berarti meriam “Anak Makassar” ini seluruhnya memiliki bobot 9.500 kg. atau 9,5 ton. Panjang meriam keramat ini enam meter. Dengan kaliber 41,5 cm.
Dirampas Speelman
Pada 15 Juni 1668 Speelman melancarkan serangan total ke Benteng Somba Opu. Pertempuran hari pertama berlangsung 24 jam terus menerus. Fuselir-fuselir Belanda menembakkan 30.000 peluru. Setelah menderita, 50 orang serdadu Belanda tewas dan 68 orang luka parah, maka Belanda berhasil menduduki pertahanan pertama Benteng Somba Opu yang tebal dindingnya 12 kaki itu. Namun perang tetap berkobar. Pertempuran berlangsung dengan sengitnya. Akhirnya, setelah bertarung habis-habisan selama 10 hari siang dan malam, pada tanggal 24 Juni 1669, seluruh Benteng Somba Opu dapat dikuasai oleh Belanda.
Dua ratus tujuh puluh dua pucuk meriam besar kecil, di antaranya meriam keramat “Anak Makassar” dirampas oleh Speelman. Benteng dan Istana Somba Opu kemudian diratakan dengan tanah. Beribu pond buskruit meledakkan benteng dan istana itu. Udara memerah bak menyala, tanah menggelegar, berhamburan ke angkasa.
Malam yang Mengerikan
Sebagai seorang penulis Belanda yang banyak menulis tentang Gowa, Dr. F.W. Stapel dalam salah satu bukunya berjudul Het Bongaais Verdrag. Pada halaman 57-57 Stapel menulis pengakuan yang dibuat oleh orang-orang Belanda sebagai berikut:
“Er werd niet allen dien dag maar ook den volgenden nacht aan een stuk door gestreden te gelooven sijnde dat het soo vreeselycke nacht is geweest, als crijgers van hoogen ounderdom misschien in Europa selve niet dicht jls gehoort. De Nederlandsche musketiers verschooten dien nacht 30.000 cogels! De vijand verdedigdezich met een ware furie, tot op den middag van den 17 den; toen was het resultaat, dat men ten koste van 50 dooden en 68 gewonden eenige belangrijke voorwerken wan het kasteel bezet had, die dadelijk met schanskorven warden versterkt”.
“Pertempuran tidak hanya pada hari itu saja, akan tetapi juga berlangsung pada malam berikutnya semalam suntuk dengan tiada henti-hentinya. Percaya atau tidak percaya, malam itu adalah malam yang amat dahsyat dan sangat mengerikan, sehingga prajurit-prajurit yang sudah lanjut usianya mungkin bahkan di Eropa sekalipun jarang yang pernah mendengarnya. Serdadu-serdadu Belanda pada malam itu menembakkan 30.000 (tiga puluh ribu) butir peluru. Musuh (orang-orang Gowa) mengadakan perlawanan yang gagah berani bagaikan banteng keraton sampai pada sore hari 17 Juni. Hasil yang dicapai pada waktu itu dengan pengorbanan 50 (lima puluh) orang tewas dan 68 (enam puluh delapan) orang luka-luka. Beberapa bagian depan yang penting benteng itu dapat direbut dan diduduki yang segera kami perkuat dengan kubu-kubu pertahanan”.
Stapel juga menulis pada halaman 58 sebagai berikut:
“In Somba Opu warden in total buit gemaakt 272 groote en kleine kanonnen, waaronder het fabuleuze anak Makassar, dat wel beschadigd was, doch “sijn vervoeren en vertoonen nog genoe gsaem waerdigh is”
“Di Somba Opu dapat direbut seluruhnya 272 pucuk meriam besar dan kecil, diantaranya juga meriam “Anak Makassar” yang luar biasa itu. Sungguhpun dalam keadaan rusak, namun meriam Anak Makassar itu masih juga dapat menampakkan kedahsyatannya”.
Dimana Meriam anak Makassar tersebut adalah Asli Hasil Ciptaan/tempaan Orang Makassar yang di Prakarsai oleh Sultan Mahmud Karaeng Pattingaloang/Raja Tallo ke 8/Mangkubumi Kerajaan Gowa.
Andi Pangerang Pettarani : The Godfather of Celebes
The Godfather merupakan julukan yang melekat dalam diri tokoh, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Sulawesi di era (1956-1960) ini. Kesederhanaan hidup yang terpancar jelas dari kehidupannya, telah membuatnya menjadi seorang pemimpin yang dicintai, disegani, dan dihormati oleh masyarakat pada waktu itu. Maka tak heran warisan akan nama besar beliau, hingga kini dapat tetap kita ingat sebagai salah satu jalan terbesar yang ada di kota Makassar, Jalan Andi Pangerang Petta Rani (AP Petta Rani).
Andi Pangerang Petta Rani lahir pada awal abad XX, tepatnya 14 Mei 1903 di desa Mangasa. Desa ini sendiri terletak di kawasan Kabupaten Gowa, yang telah lama dikenal sebagai sebuah kerajaan yang terbesar di wilayah Indonesia bagian timur. Ibunya adalah seorang ningrat bernama I Batasai Daeng Taco, sedangkan ayahnya adalah Raja Bone Terakhir, Andi Mappanyuki, aristokrat muda yang mempunyai peranan dalam dunia pemerintahan kerajaan Gowa.
Jika kita kembali menengok kepada sejarah, Kakek Andi Pangerang Petta Rani merupakan Raja Gowa yang ke XXXI, dan dikenal dalam sejarah dengan sebutan I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tu Lenguka ri Bundu’na. Dari bagian terakhir namanya yang berbunyi Tu Lenguka ri Bundu’na, yang berarti ‘orang yang berlindung di balik peperangan”.
Andi Pangerang Petta Rani sendiri, lahir pada saat yang kurang menguntungkan dimana saat itu kompeni Belanda masih menjajah hampir seluruh pelosok Indonesia termasuk Sulawesi. Oleh sebab itu, kedua orang tuanya, segenap anggota keluarga, dan lingkungan masyarakat, menumpukan harapannya agar kelak anak tersebut menjadi seorang manusia yang berbakti kepada orang tua, terpuji tingkah lakunya di masyarakat, dan kelak menjadi pemimpin di masyarakat yang disegani dan dihormati. Berkat doa dari orangtuanya, dan harapan masyarakat, harapan yang mulia itu pada akhirnya terwujud, dimana pada tahun 1950-an, AP. Petta Rani berhasil meniti karirnya menuju puncak pimpinan di Sulawesi dan berjaya menduduki jabatan gubernur militer.
Meskipun telah menjadi seorang pemimpin, beliau toh masih tetap berpegang teguh pada nilai-nilai budaya yang dianut oleh keluarganya. Setelah melalui upacara adat dan tradisi budaya oleh keluarganya, Putra kesayangan Andi Mappanyuki itu, kemudian diberi nama Andi Pangerang Daeng Rani. Namun, seiring dengan waktu nama itu kemudian berubah sedikit menjadi Andi Pangerang Petta Rani. Tidak ada satu sumber hingga saat ini, yang dapat menjelaskan dengan jelas proses perubahan sebutan dari ‘Daeng’ ke Petta. Yang jelas gelar ‘daeng’ dan ‘petta’ itu keduanya bermakna gelar bangsawan, baik untuk orang Bugis maupun untuk orang Makassar.
Menurut salah satu sumber lokal, asal mula nama Pangerang diberikan oleh Andi Mappanyuki dan Daeng Taco. Yaitu ketika Daeng Taco sedang berada dalam kondisi hamil tua, yaitu pada saat mereka mengunjungi mertuanya. Dalam kunjungan itu, Andi Mappanyuki membawa ‘persembahan’ atau bingkisan seperti kebiasaan yang ada dalam adat Bugis Makassar, khususnya di kalangan aristokrat yang berperan sebagai pengontrol adat.
Persembahan itu dalam bahasa Makassar disebut erang-erang. Tak berapa lama kemudian, Daeng Taco melahirkan anaknya yang pertama. Nah! untuk mengabadikan peristiwa kunjungan ke mertuanya itu, maka anaknya diberi nama Pangerang yang bermula dari kata erang-erang.
Kesultanan Gowa
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-17.
Sejarah awal
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranyaAbad ke-16
Tumapa'risi' Kallonna
Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9, bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil". Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan ikan banyak.
Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya di abadl ke-16 dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kerajaan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga.
Tunipalangga
Tunipalangga dikenang karena sejumlah pencapaiannya, seperti yang disebutkan dalam Kronik (Cerita para pendahulu) Gowa, diantaranya adalah:
- Menaklukkan dan menjadikan bawahan Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, berbagai negara kecil di belakang Maros, Wajo, Suppa, Sawitto, Alitta, Duri, Panaikang, Bulukumba dan negara-negara lain di selatan, dan wilayah pegunungan di selatan.
- Orang pertama kali yang membawa orang-orang Sawitto, Suppa dan Bacukiki ke Gowa.
- Menciptakan jabatan Tumakkajananngang.
- Menciptakan jabatan Tumailalang untuk menangani administrasi internal kerajaan, sehingga Syahbandar leluasa mengurus perdagangan dengan pihak luar.
- Menetapkan sistem resmi ukuran berat dan pengukuran
- Pertama kali memasang meriam yang diletakkan di benteng-benteng besar.
- Pemerintah pertama ketika orang Makassar mulai membuat peluru, mencampur emas dengan logam lain, dan membuat batu bata.
- Pertama kali membuat dinding batu bata mengelilingi pemukiman Gowa dan Sombaopu.
- Penguasa pertama yang didatangi oleh orang asing (Melayu) di bawah Anakhoda Bonang untuk meminta tempat tinggal di Makassar.
- Yang pertama membuat perisai besar menjadi kecil, memendekkan gagang tombak (batakang), dan membuat peluru Palembang.
- Penguasa pertama yang meminta tenaga lebih banyak dari rakyatnya.
- Penyusun siasat perang yang cerdas, seorang pekerja keras, seorang narasumber, kaya dan sangat berani.
Raja-raja Kesultanan Gowa
- Tumanurunga (+ 1300)
- Tumassalangga Baraya
- Puang Loe Lembang
- I Tuniatabanri
- Karampang ri Gowa
- Tunatangka Lopi (+ 1400)
- Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
- Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
- Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16)
- I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
- I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
- I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
- I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
- I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna
Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.[1] - I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna
Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653 - I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana
Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670 - I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu'
Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.- I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna
- Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara
Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681 - I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)
- La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
- I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
- I Manrabbia Sultan Najamuddin
- I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)
- I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
- I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
- Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
- I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
- I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
- I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
- I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
- La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
- I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893)
- I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895)
- I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na
Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906 - I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
- Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar.
Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973
Sejarah
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.[1]
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Perjanjian Bungaya
Perjanjian Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau Bongaja) adalah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman.[1] Walaupun disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowa).
Isi perjanjian
- Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan antara pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 harus diberlakukan.
- Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau di masa lalu melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim kepada Laksamana (Cornelis Speelman).
- Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepada Kompeni.
- Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat harus diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
- Raja dan bangsawan Makassar harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling lambat musim berikut.
- Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di sini atau melakukan perdagangan.
Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar. - Hanya Kompeni yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh melakukannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh Kompeni.
- Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
- Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
- Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk ditempati raja.
- Benteng Ujung Pandang harus diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi wilayahnya.
- Koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia harus diberlakukan di Makassar.
- Raja dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya harus sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.
- Raja dan bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.
- Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum.
- Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar harus dikembalikan. Bagi mereka yang telah meninggal atau tidak dapat dikembalikan, harus dibayar dengan kompensasi.
- Bagi Sultan Ternate, semua orang yang telah diambil dari Kepulauan Sula harus dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.
- Gowa harus menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
- Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka harus dilepaskan.
- Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya, harus tetap menjadi tanah milik Kompeni sebagai hak penaklukan.
- Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Gowa dan tidak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
- Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berharap tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
- Pemerintah Gowa harus menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
- Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang di masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.
- Dalam setiap sengketa di antara para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) harus diminta untuk menengahi. Jika salah satu pihak tidak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil tindakan yang setimpal.
- Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar harus mengirim dua penguasa pentingnya bersama Laksamana ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini kepada Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Jika perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral dapat menahan dua pangeran penting sebagai sandera selama yang dia inginkan.
- Lebih jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang ada di Makassar harus dibawa ke Batavia.
- Lebih jauh tentang pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.
- Pemerintah Gowa harus membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak ataupun permata.
- Raja Makassar dan para bangsawannya, Laksamana sebagai wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.
KaraEng Bontomarannu
Bernama lengkap I Pakkebbu Karaeng Jarre Karaeng Bontomarannu Karaeng Galesong. Beliaulah yang merupakan Panglima Angkatan Laut Kerajaan Gowa yang bergelar KaraEng Bontomarannu, beliau pulalah yang berangkat bersama pembesar-pembesar Kerajaan Gowa dan sekutu lainnya ke Jawa karena ketidaksenangannya dengan perjanjian Bungaya.
Tiba di Banten pada tanggal 19 Agustus 1671 dengan 4 perahu bersama pengikutnya sebanyak 800 orang. Termasuk didalamnya Raja Tallo Sultan harun Al-Rasyid, I Manninrori Daeng Mangeppek (bersaudara lain ibu dengan Raja Tallo Harun Al Rasyid) dan I Ata Tojeng Daeng Tulolo Syaiful Muluk KaraEng Bontomajannang (saudara lain ibu dengan Sultan Hasanuddin).
Karaeng Bontomarannu adalah merupakan salah satu musuh utama Belanda. Tak tanggung-tanggung nama beliau dimasukkan dalam isi perjanjian Bungaya sebagaimana tercamtum pada point 15 Perjanjian Bungaya yang bunyinya sebagai berikut : Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum. Demikian dapat dibayangkan betapa murkanya Belanda pada orang ini.
KaraEng Bontomarannu sebelum diangkat menjadi Panglima Angkatan Laut Kerajaan Gowa pernah menjadi KaraEng Galesong yakni KaraEng Galesong ke III (dari tahun 1656-1659).
I Sumangerukka Dg. Marewa Karaeng Pasi Tunilabu ri Siriwa
Raja Tallo ke II, I Sumangerukka Dg Marewa Karaeng Pasi Tunilabu ri Suriwa atau yang lebih dikenal dengan Karaeng Samarluka beristri di Garassi (KaraEng Kanjilo). Dari istrinya ini mempunyai anak KaraEng Patukangan, KaraEnga ri Tanasanga, KaraEnga ri Patte'ne dan KaraEnga ri Panaikang. Beliau wafat karena di amuk di tengah pelayaran dan jenazahnya tak sempat lagi di bawah pulang sehingga diberi nama Tunilabu ri Siriwa (Abd Rahim dkk : Sejarah Tallo, Suatu Transkripsi Lontara, 1975, hal 6)
Selain itu diketahui, Karaeng Pasi Tunilabu ri Suriwa mempunyai istri bernama Nyai Papati seorang putri dari jawa (Surabaya), dan istri lainnya bernama I Kare Suwa. Dari istrinya ini lahir Karaeng Mangayowang Berang [Tunipassuru-ri Lello], selanjutnya menjadi Raja Tallo ke 3, juga seoarang putri bernama I-Reija Karaeng Loe yang tak lain adalah istri dari Karaeng Tumapa'risi 'Kallonna Raja Gowa ke IX.
RIWAYAT SINGKAT MANGKUBUMI / PA’BICARABUTTA (MAHAPATIH) KERAJAAN GOWA/RAJA TALLO KE 8
Nama lengkap Beliau I Mangngadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud Tuminanga Ri Bontobiraeng,menjabat mangkubumi / pabbicarabutta kerajaan Gowa(1639-1654),mendampingi raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid (Muhammad Said) Tuminanga Ri Papambatunna(1639-1653).
Beliau adalah putra Raja Tallo VI dan mangkubumi / pabbicarabutta kerajaan Gowa I Mallingkaang Daeng Mannyonri’ Karaeng Matoaya Sultan Abdullah Awwalul Islam Tuminanga Ri Agamana,yang lahir dari permaisuri Beliau yang bernama I Wara’ Karaeng Lempangang.Karaeng Pattingalloang bersaudara kandung dengan Raja Tallo VII I Manginyarrang Dg Makkio Karaeng Kanjilo Sultan Abdul Gaffar Tumammaliyanga ri Timoro’.
Pada umur 18 tahun,Karaeng Pattingalloang telah menguasai bahasa Portugis,Spanyol,Latin,Inggris,Perancis,Belanda,Cina,dan Arab,diluar dari pada bahasa lokal (bahasa makassar,bugis,mandar) juga bahasa jawa dan melayu.
Dengan kepandaian dan keahliannya, turut mengantarkan gowa sebagai negara terkuat di bidang politik,militer,ekonomi dan menjadikannya sebagai bandar niaga terbesar di Asia tenggara pada zamannya.Menurut Alexander Rhodes(misionaris katolik di makassar pada tahun 1646),dari catatannya; Karaeng Pattingalloang cukup menguasai rahasia ilmu barat,tekun mempelajari sejarah kerajaan-kerajaan di Eropa,serta mahir ilmu matematika.
Juga menurut catatan Fride Rhodes,Beliau juga menghayati tehnical inovation europe,dan merupakan orang Asia tenggara pertama yang menyadari pentingnya ilmu-ilmu terapan (aplied Science),serta gemar mengumpulkan benda-benda ilmu pengetahuan seperti Globe,Peta dunia dengan deskripsi dalam bahasa Spanyol,Portugis,dan Latin,mengoleksi buku-buku tentang ilmu Bumi,serta menerima hadiah Atlas dan Globe yang terbuat dari tembaga oleh VOC serta rangkaian syair yang dikarang oleh Jost Van den Vondel dengan menaruh kalimat pujian "SEORANG YANG OTAKNYA SELALU MENCARI-CARI DAN SELURUH DUNIA AMAT KECIL BAGINYA" . Di zamannya pada tahun 1652 Inggris menyerahkan teleskop GALILEAN PROSPECHTIVE GLASS ciptaan Galileo sesuai pesanan mendiang Raja Gowa XIV I Mangnga’rangngi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga Ri Gaukanna,ini membuktikan bahwa Kerajaan Gowa ikut berkecimpung dalam semangat Renaissance ilmu pengetahuan Barat yang turut mempengaruhi kebudayaan makassar pada waktu itu.
Pada akhir hayatnya beliau tampil sebagai sosok pejuang,diplomat,seniman,cendekiawan,agamawan,dan negarawan,yang dikenal bukan hanya di nusantara,tapi di seluruh penjuru dunia,Beliau wafat pada 15 September 1654,dan digantikan oleh putranya,Abdul Hamid Karaeng Karunrung,sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa,yang mana Beliau ini merupakan murid spiritual dari ulama,shufi,dan pejuang dari butta Gowa Syekh Yusuf Tajul Khalwatiyah Al Macassari.
Pesan-pesan Kepemimpinan dalam Lontara Makassar
Kedudukan pemimpin serta rakyat
Pemimpin dalam lontara diibaratkan sebagai Angin (anging), Air (je’ne), juga sebagai Jarum (jarung). Adapun rakyat diibaratkan sebagai Daun (leko’ kayu), Batang Pohon (batang kayu), Benang (bannang panjai’). Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan :
1) Anging na leko’ kayu ; anginmako na ikambe leko kayu, miri’ko anging namarunang leko’ kayu. Artinya Raja atau pemimpin di ibaratkan sebagai angin dan rakyat diibaratkan sebagai daun. Dimana angin berhembus nampak daun bergoyang mengikuti arah angin.
2) Je’ne na batang mammayu ; je’nemako ikau na ikambe batang mammayu, solongko je’ne namammayu batang kayu. Artinya Raja/ Pemimipin diibaratkan sebagai air dan rakyat di ibaratkan sebagai batang yang hanyut. Kemana air mengalir kesana pula batang akan hanyut. Apa kehendak Raja/ Pemimpin rakyat akan patuh.
3) Jarung na bannang panjai’ ; jarungmako Ikau na ikambe bannang panjai, ta’leko jarung namminawang bannang panjai. Artinya Raja/ Pemimpin diibaratkan sebagai jarum dan rakyat diibaratkan sebagai benang kelindang. Jarum tidak akan ada gunanya tanpa didukung oleh benang kulindang, kalau pada suatu saat jarum digunakan atau menggunakan diri tanpa benang hanya akan merusak dan menimbulkan rasa sakit. Benang juga merupakan lambang pemersatu. Namun hal ini disanggah dengan ungkapan : IA SANI LAMBUSUPPI NAKONTU TOJENG. Artinya, angin boleh berhembus dan daun akan bergoyang, air boleh mengalir dan batang akan ikut, jarum boleh merajut dan benang akan ikut. Hal ini akan terwujud bila Raja/ Pemimpin berada dalam kejujuran, arif dan bijaksana.
Hal tersebut dapat pula dilihat dalam ikrar/ sumpah (Aru) orang Gowa terhadap Rajanya, yang cuplikannya sebagai berikut :
Ikau anging Karaeng
Na ikambe leko’ kayu
Mirikko anging
Namarunang leko’ kayu
Iya sani madidiyaji narunang
Na ikambe leko’ kayu
Mirikko anging
Namarunang leko’ kayu
Iya sani madidiyaji narunang
Ikau je’ne Karaeng
Na ikambe batang mammayu
Solongko Je’ne
Namamminawang batang kayu
Iya sani sompo bonangpi kiayu
Na ikambe batang mammayu
Solongko Je’ne
Namamminawang batang kayu
Iya sani sompo bonangpi kiayu
Ikau jarung Karaeng
Na ikambe bannang panjai’
Ta’leko jarung
Namamminawang bannang panjai’
Iya sani lambusuppi nakontu tojeng.
Na ikambe bannang panjai’
Ta’leko jarung
Namamminawang bannang panjai’
Iya sani lambusuppi nakontu tojeng.
Yang harus diperhatikan bagi seoarang pemimpin
Seorang pemimpin harus memperhatikan budaya yang masih hidup dan mengakar di masyarakat, dalam hal ini budaya yang ada dalam masyarakat makassar yakni : budaya Siri’, Pacce, Sipakatau dan Rupagau, dll. (Malu, solidaritas, saling menghargai dan perbuatan baik, dll). Sebagaimana disebutkan dalam lontara :
- Karaenga angngassengi atanna, na atayya angngassengi karaenna. Artinya pemimpin tahu rakyatnya dan rakyat tahu pula kewajibannya.
- Karaenga tamannappu bicara bundu punna tena gallarranga. Artinya pemimpin tidak akan memutuskan masalah perang kalau tidak di musyawarahkan dengan rakyat melalui gallarrang (Dewan Kerajaan).
- Karaenga tamangngalle bayao sibatuna tumabbuttayya punna tanapalakka, nipalaki siratang nipalaka, niballi siratang niballiya. Artinya pemimpin tidak akan mengambil hak milik rakyat, walau sebutir telur kalau tidak diminta. Diminta yang patut diminta, dibeli yang wajar dibeli. Ini berarti pemimpin tidak akan mengambil hak rakyat semena-mena.
Kriteria dalam memilih seorang pemimpin
Disebutkan bahwa untuk memilih pemimpin harus diperhatikan kriteria, seperti dalam ungkapan : punna ammileiko tumapparenta tea laloko pilei tau assipa juku kanjiloa, nasaba punna tau assipa juku kanjilo nakanrei ana’na, mingka iya lalo pilei tau assipa angrong janganga, nasaba punna assipa angrong jangang, najagai ana’na battu ri pammanrakia, napakapeki ka’nyi’na punna nia balangkoa, napa’boyangi kanre ana’na manna ilalangmo kanrea ri totto’na punna nia inja ana’na siagang paranna jangang tamanggappa kanre napasulu’ji kanrena battu ri totto’na nana sareang ana’na iyareka paranna jangang.
Artinya, kalau memilih Raja/ Pemimpin, jangan pilih orang yang bersifat ikan gabus, karena kalau orang yang memiliki sifat ikan gabus akan memangsa anaknya dan sesama ikan, tapi pilihlah raja/ pemimpin yang memiliki sifat induk ayam, karena orang yang mempunyai sifat induk ayam, akan melindungi anaknya dari ancaman bahaya, akan mencarikan nafkah anak dan sesamanya, walau makanan telah berada dalam paruh dan mulutnya, kalau dilihat masih ada anak atau sesama yang belum dapat makanan, maka dikeluarkanlah dari mulutnya lalu diberikan pada anaknya atau sesamanya yang belum kebagian makanan.
Disamping sifat angrong jangang, dalam lontara juga disebutkan bahwa seorang pemimpin haruslah :
- Panrita : pintar, cakap, berilmu dan berwawasan luas.
- Iapa napare poko’ barang-barang mallaka ri Allah Taala lahere na bateng : berprinsip bahwa Taqwa kepada Allah SWT adalah segalanya baik lahir maupun batin.
- Baranipi : memiliki keberanian dalam bertindak.
- Mattappi ri bicaranna : Konsekwen dan konsisiten dalam keputusannya.
- Malambusuppi ri larrona siagang ri tamalarrona : jujur dan arif ketika marahnya lebih-lebih disaat tidak marah.
- Mammempopi ri passimbangenna mappakamalla-mallaka, namappakabuyu-buyua : menempatkan diri diantara hal-hal yang menakutkan dan menggembirakan.
- Napabutapi matanna, napatongolo’ppi tolinna ri sitabannaya battu ri tabbala’na : melihat dan mendengar secara cermat dan wajar, tidak terpengaruh terhadap apa yang dilihat dan didengar, tapi adil dan arif dalam melihat dan mendengar.
- Majaiyampi pangngamaseang pa’mai’na ri tabbala’na naiya larrona, na sipakkangpi malaboa nanapare’mo barang-barang nikaya alle kale : kasih sayangnya lebih menonjol, sifat suka memberi dan tenggang rasa menjadi karakternya.
Dalam memilih pemimpin, disebutkan hal-hal yang harus dihindari, yakni : TAU ERO’ DUDUA, SIAGANG TAU TEA DUDUA RI SE’REA PANGGAUKANG IYAREKA JAMA-JAMANG, TAMANGNGERANGI KABAJIKAN TAMA’RINGI NIPILEI. Artinya jangan memilih orang yang terlalu berambisi dan orang yang terlalu menghindari suatu pekerjaan atau jabatan, tidak akan membawa kebajikan TIDAK LAYAK DIPILIH.
Yang harus diperhatikan dari seorang pemimpin.
Kalau seseorang telah menduduki jabatan sebagai pemimpin, maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan : SITAUA TUMAPPARENTA PUNNA ILALANGNA APPARENTA NABALLAKI TALLU RUPANNA PANGGAUKANG MAKA LANGNGERANG KAMUNAPEKANG, URU-URUNA NIRANNUANG TAMALLAKU-LAKU, MAKA RUANA A’JANJI TANARUPAI, MAKA TALLUNA NITANRASA LAMBUSU NA JEKKONG. Artinya, Jika seorang pemimpin dalam melaksanakan kepemimpinannya, dimilikinya tiga hal dapat membawa kemunafikan, pertama diberi amanah tapi khianat, kedua berjanji tapi ingkar, dianggap jujur tapi curang.
TALLU TONGI RUPANNA PANGGAUKANG RI SE’REA TUMAPPARENTA ANGNGERANG KAPANRAKANG. Artinya, tiga perbuatan yang dapat membawa kerusakan :
- PUNNA ADDANGGANGMO TUMAPPARENTAYA. Artinya, Jika pemimpin sudah mulai berdagang, apabila ini terjadi maka setiap aktifitas yang dilakukan sudah ada perhitungan untung, yang bisa meninggalkan rasa pengabdian.
- PUNNA ANNARIMAMO PASSOSO’ TUMAPPARENTAYA, Artinya, jika pemimpin menerima sogok setiap melakukan kebijakan.
- PUNNA TEYAMO ANNARIMA PAPPASAILE TUMAPPARENTAYA. Artinya, jika pemimpin tidak mau lagi menerima nasehat.
Pantangan bagi seorang pemimpin
Sebagai seorang pemimpin yang berkuasa, maka ada beberapa hal yang menjadi pantangan baginya untuk dilaksanakan, salah satunya adalah : NUTEA’ LALO AMMINTINGI APA-APA BATTU LALANG RI PASARAKA. AULE ANU NUBALLIJI SALLANG NAKANAMO TAUWA ANU NU PALA-PALA. Artinya, jangan sekali-kali menenteng barang-barang dari dalam pasar, jangan sampai barang itu kau beli tetapi sangkaan orang kau minta-minta.
Pembagian waktu seorang pemimpin
Terakhir adalah pesan-pesan bagi seorang pemimpin tentang pembagian waktunya. Disebutkan : PUNNA ANJARIKO TUMAPPARENTA BAGI APPAKI WATTUNNU. (Kalau menjadi seoarang pemimpin, bagi empat waktumu) :
- SITAWANG WATTUNNU PA’MATU-MATUI SIPAMMEMPOANG TUMAPPARENTA LAHEREKA. Artinya, sebagian waktumu gunakan duduk bersama dengan cendikiawan untuk membicarakan bagaimana negeri dan masyarakat ini dibangun diatas dasar ilmu pengetahuan.
- SITAWANG WATTUNNU PA’MATU-MATUI SIPAMMEMPOANG TU PANRITA BATENGA. Artinya, sebagian waktumu gunakan duduk bersama rohaniawan (ulama) untuk membicarakan bagaimana negeri dan masyarakat ini dibangun diatas moral agama dan budaya.
- SITAWANG WATTUNNU PA’MATU-MATUI SIBUNTULU TAU JAIYA. Artinya, sebagian waktumu gunakan untuk bertemu dengan masyarakat umum untuk mendengarkan informasi dan keluhannya.
- SITAWANG POLE WATTUNNU PA’MATU-MATUI PORO NUKUSIANGNGI RIBONE BALLA’NU. Artinya, sebagaian waktumu lagi gunakan untuk duduk bersama dengan keluarga (istri dan anak-anak), jangan sampai karena kesibukan mengurus negara sehingga lupa mengurus rumah tangga, keluarga dan anak-anak.
Raja-Raja yang pernah memerintah Arungkeke
1.Ratu/ Karaeng Baine Toalu’Daeng/Karaeng Taba Karaeng Arungkeke.
2.Arung butara’ Daeng/karaeng Tabba Kr.Arungkeke
3,Makkumala Daeng irawa Kr.Arungkeke
4.Daeng malonjo’ Kr.Arungkeke
5.Pakado’ Daeng mattinri/Kr.Mattinri Kr.Arungkeke
6.Supanara’Dg. Nara/Kr.Nara Kr.Arungkeke
7.Mannjaurang Dg. Tau’/Kr.Tau Kr.Arungkeke
8.Danta’ mappasang/Mappa Daeng Pasang Karaeng toa Kr.Arungkeke
9.Pagonra dg.Momo’/Kr.Momo Kr.Arungkeke
10.Sallawa Dg.Sayu Karaeng assuluka Kr.Arungkeke
11.Pattoreang Dg.Kanna/Kr.Kanna Kr.Arungkeke
12.Jarigau’ Karaeng Cambang Kr.Arungkeke
13.Makkodo’ karaeng Bukkuka Kr.Arungkeke
14.kadieng Dg. Maro karaeng ponyaya Kr.Arungkeke
15.Jannang Dg. Rara/Kr.Rara Kr.Arungkeke
16.Timummmung dg. Mabatu karaeng Amadaka Kr.Arungkeke
17.Pabeta dg. Buang Karaeng tinggia Kr.Arungkeke
18.Jannang Dg.rara’/Kr.Rara Kr.Arungkeke
19.Pilla Karaeng loloa Kr.Arungkeke
20.Kadieng Karaeng Caddi Kr.Arungkeke
21.Lawing Dg. Palliwang Karaeng Ngilanga Kr.Arungkeke
22.Jannang dg.maro/Kr.Maro Kr.Arungkeke
23.Kuri Dg.jalling Karaeng toaya Kr.Arungkeke
24.Mattuppuang Dg./karaeng loloa Kr.Arungkeke
25.Tempo Dg./Kr.Gau(Tunijallo ripassuki) Kr.Arungkeke
26.A.Burhan gassing Dg./Kr.Gassing Kr.Arungkeke
27.Mahdi kulle Dg./Kr.kulle Kr.Arungkeke
28.Rudda Dg./Kr.Moke Kr.Arungkeke
29.Muh.Yunus Dg./Kr.Nojeng Kr.Arungkeke
30.Muh.Sa’ing Dg./Kr.Bulu Kr.Arungkeke
31Pakihi Raja Dg./Kr.Raja Kr.Arungkeke
32.M.jafar Bantang Dg. Karaeng Ngawing Kr.Arungkeke
Yang pernah dilantik menjadi karaeng Baine
- Karaeng Baineya/ Toalu’ Daeng/Karaeng Taba Karaeng Arungkeke.
- Bulang Daeng/karaeng Romba karaeng Baineya istri Raja ke 8.
- Condong Daeng/Karaeng Simung Kareng Baineya istri Raja ke 9.
- Kalisong Dg.Datu’Karaeng Balua Istri Raja 19.
2.Arung butara’ Daeng/karaeng Tabba Kr.Arungkeke
3,Makkumala Daeng irawa Kr.Arungkeke
4.Daeng malonjo’ Kr.Arungkeke
5.Pakado’ Daeng mattinri/Kr.Mattinri Kr.Arungkeke
6.Supanara’Dg. Nara/Kr.Nara Kr.Arungkeke
7.Mannjaurang Dg. Tau’/Kr.Tau Kr.Arungkeke
8.Danta’ mappasang/Mappa Daeng Pasang Karaeng toa Kr.Arungkeke
9.Pagonra dg.Momo’/Kr.Momo Kr.Arungkeke
10.Sallawa Dg.Sayu Karaeng assuluka Kr.Arungkeke
11.Pattoreang Dg.Kanna/Kr.Kanna Kr.Arungkeke
12.Jarigau’ Karaeng Cambang Kr.Arungkeke
13.Makkodo’ karaeng Bukkuka Kr.Arungkeke
14.kadieng Dg. Maro karaeng ponyaya Kr.Arungkeke
15.Jannang Dg. Rara/Kr.Rara Kr.Arungkeke
16.Timummmung dg. Mabatu karaeng Amadaka Kr.Arungkeke
17.Pabeta dg. Buang Karaeng tinggia Kr.Arungkeke
18.Jannang Dg.rara’/Kr.Rara Kr.Arungkeke
19.Pilla Karaeng loloa Kr.Arungkeke
20.Kadieng Karaeng Caddi Kr.Arungkeke
21.Lawing Dg. Palliwang Karaeng Ngilanga Kr.Arungkeke
22.Jannang dg.maro/Kr.Maro Kr.Arungkeke
23.Kuri Dg.jalling Karaeng toaya Kr.Arungkeke
24.Mattuppuang Dg./karaeng loloa Kr.Arungkeke
25.Tempo Dg./Kr.Gau(Tunijallo ripassuki) Kr.Arungkeke
26.A.Burhan gassing Dg./Kr.Gassing Kr.Arungkeke
27.Mahdi kulle Dg./Kr.kulle Kr.Arungkeke
28.Rudda Dg./Kr.Moke Kr.Arungkeke
29.Muh.Yunus Dg./Kr.Nojeng Kr.Arungkeke
30.Muh.Sa’ing Dg./Kr.Bulu Kr.Arungkeke
31Pakihi Raja Dg./Kr.Raja Kr.Arungkeke
32.M.jafar Bantang Dg. Karaeng Ngawing Kr.Arungkeke
Yang pernah dilantik menjadi karaeng Baine
- Karaeng Baineya/ Toalu’ Daeng/Karaeng Taba Karaeng Arungkeke.
- Bulang Daeng/karaeng Romba karaeng Baineya istri Raja ke 8.
- Condong Daeng/Karaeng Simung Kareng Baineya istri Raja ke 9.
- Kalisong Dg.Datu’Karaeng Balua Istri Raja 19.
Silsilah raja Bone
1. Mattasi LompoE ManurungngE ri Matajang 1330-1358 (28 Thn)
2. La Ummasa 1358-1424 (66 Thn)
3. La Saliyu Karampelluwa 1424-1496 (72 Thn)
4. Ibenri Gau Arung Majang 1496-1516 (20 Thn)
5. La Tenri Sukki 1516-1543 (27 Thn)
6. La Uliyo Bote’E 1543-1568 (25 Thn)
7. La Tenri Rawe BongkangngE 1568-1584 (16 Thn)
8. La Inca’ 1584-1595 (11 Thn)
9. La Pattawe MatinroE ri Bulukumba 1595-1602 (7 Thn)
10. We Tenri Tuppu Maddussila 1602-1611 (9 Thn)
11. La Tenri Rua Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng 1611 (3 bln)
12. La Tenri Pale To Akkappeang Arung Timurung 1611-1625 (14 Thn)
13. La Maddaremmeng 1625-1640 (15 Thn)
14. La Tenroaji Tosenrima 1640-1643 (3Thn)
15. La Tenri Tatta Arung Palakka 1667-1696 (29 Thn)
16. La Patau Matanna Tikka 1696-1714 (18 Thn)
17. Batari Toja Dattalaga Arung Timurung 1714-1715 (1 Thn)
18. La Padassajati 1715-1718 (3 Thn)
19. La Pareppa To Sappewali 1718-1721 (3 Thn)
20. La Panaongi To Pawawoi 1721-1724 (3 Thn)
21. Batari Toja Dattalaga Arung Timurung 1724-1749 (25 Thn)
22. La TemmassongE TO AppaingE 1749-1775 (26 Thn)
23. La Tenri Tappu 1775-1812 (37 Thn)
24. To Appatunru 1812-1823 (11 Thn)
25. I Mani Arung Data 1823-1835 (12 Thn)
26. La Mappaseling 1835-1845 (10 Thn)
27. La Parenrengi 1845-1857 (12 Thn)
28. Tenriawaru Pancaitana Besse’ Kajuara 1857-1860 (3 Thn)
29. Singkeru’ Rukka 1860-1871 (11 Thn)
30. Fatimah Banri 1871-1895 (24 Thn)
31. La Pawawoi Karaeng Sigeri 1895-1905 (10 Thn)
32. La Mappanyukki 1931-1946 (15 Thn)
33. Andi Pabbenteng Petta Lawa 1946-1951 (5 Thn)
2. La Ummasa 1358-1424 (66 Thn)
3. La Saliyu Karampelluwa 1424-1496 (72 Thn)
4. Ibenri Gau Arung Majang 1496-1516 (20 Thn)
5. La Tenri Sukki 1516-1543 (27 Thn)
6. La Uliyo Bote’E 1543-1568 (25 Thn)
7. La Tenri Rawe BongkangngE 1568-1584 (16 Thn)
8. La Inca’ 1584-1595 (11 Thn)
9. La Pattawe MatinroE ri Bulukumba 1595-1602 (7 Thn)
10. We Tenri Tuppu Maddussila 1602-1611 (9 Thn)
11. La Tenri Rua Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng 1611 (3 bln)
12. La Tenri Pale To Akkappeang Arung Timurung 1611-1625 (14 Thn)
13. La Maddaremmeng 1625-1640 (15 Thn)
14. La Tenroaji Tosenrima 1640-1643 (3Thn)
15. La Tenri Tatta Arung Palakka 1667-1696 (29 Thn)
16. La Patau Matanna Tikka 1696-1714 (18 Thn)
17. Batari Toja Dattalaga Arung Timurung 1714-1715 (1 Thn)
18. La Padassajati 1715-1718 (3 Thn)
19. La Pareppa To Sappewali 1718-1721 (3 Thn)
20. La Panaongi To Pawawoi 1721-1724 (3 Thn)
21. Batari Toja Dattalaga Arung Timurung 1724-1749 (25 Thn)
22. La TemmassongE TO AppaingE 1749-1775 (26 Thn)
23. La Tenri Tappu 1775-1812 (37 Thn)
24. To Appatunru 1812-1823 (11 Thn)
25. I Mani Arung Data 1823-1835 (12 Thn)
26. La Mappaseling 1835-1845 (10 Thn)
27. La Parenrengi 1845-1857 (12 Thn)
28. Tenriawaru Pancaitana Besse’ Kajuara 1857-1860 (3 Thn)
29. Singkeru’ Rukka 1860-1871 (11 Thn)
30. Fatimah Banri 1871-1895 (24 Thn)
31. La Pawawoi Karaeng Sigeri 1895-1905 (10 Thn)
32. La Mappanyukki 1931-1946 (15 Thn)
33. Andi Pabbenteng Petta Lawa 1946-1951 (5 Thn)
silsila raja di tallo
1. K a r a e n g t a R i T a l l o
2. Tumailalang Toa ( Perdana Menteri )
3. Tumailalang Lolo ( sekertaris Kerajaan )
4. Botoa (Penasehat Kerajaan)
BAKU’ LOMPOA
II. Gallarang Tujua (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
• Gallarang Tallo
• Gallarang Bira
• Gallarang Pannampu
• Gallarang Rappokalling
• Gallarang Rappojawa
• Gallarang Kalukuang
• Gallarang Kaluku Bodoa
III. Gallarang Appaka (Dewan Pertimbangan Kerajaan)
• Gallarang Bira
• Gallarang Moncong Loe
• Gallarang Sudiang
• Gallarang Biringkanayya
IV. Jannang (Pejabat Pendukung)
• Daenta Qali (imam Kerajaan)
• Anrong Guru Susung (Bendahara)
• Karaeng Tukajannangang (Panglima Pasukan)
• Anrong Guru Lompona Tu Bontoala (kepala Pasukan Elit)
BAKU’ CADDIA
• Anrong Guru Damma (kepala pasukan teretorial)
• Tu Rikallong (Humas, dibawah taktis Tumilalang Lolo)
• Tu Nikate’neang (Keluarga dekat yg mengurus hal hal pribadi Karaengta)
• Matoa & Sariang ( pejabat Negara yg diadaptasikan ke struktur kerajaan)
2. Tumailalang Toa ( Perdana Menteri )
3. Tumailalang Lolo ( sekertaris Kerajaan )
4. Botoa (Penasehat Kerajaan)
BAKU’ LOMPOA
II. Gallarang Tujua (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
• Gallarang Tallo
• Gallarang Bira
• Gallarang Pannampu
• Gallarang Rappokalling
• Gallarang Rappojawa
• Gallarang Kalukuang
• Gallarang Kaluku Bodoa
III. Gallarang Appaka (Dewan Pertimbangan Kerajaan)
• Gallarang Bira
• Gallarang Moncong Loe
• Gallarang Sudiang
• Gallarang Biringkanayya
IV. Jannang (Pejabat Pendukung)
• Daenta Qali (imam Kerajaan)
• Anrong Guru Susung (Bendahara)
• Karaeng Tukajannangang (Panglima Pasukan)
• Anrong Guru Lompona Tu Bontoala (kepala Pasukan Elit)
BAKU’ CADDIA
• Anrong Guru Damma (kepala pasukan teretorial)
• Tu Rikallong (Humas, dibawah taktis Tumilalang Lolo)
• Tu Nikate’neang (Keluarga dekat yg mengurus hal hal pribadi Karaengta)
• Matoa & Sariang ( pejabat Negara yg diadaptasikan ke struktur kerajaan)
Langganan:
Postingan (Atom)